JAKARTA, KOMPAS - Kebijakan reorganisasi TNI dinilai hanya berorientasi jangka pendek. Dibutuhkan perubahan mendasar mulai dari persepsi tentang pertahanan serta posturnya untuk bisa menghasilkan TNI yang profesional.
Anggota Dewan Pakar Habibie Center Indria Samego, akhir pekan lalu, di Jakarta menggarisbawahi, tidak mudah untuk melaksanakan reformasi menuju TNI yang profesional. Pasalnya, walupun TNI ingin menjadi profesional, banyak faktor eksternal yang mempengaruhi.
“Reorganisasi TNI harus dimulai dari persepsi tentang pertahanan baru dari sana ditentukan postur pertahanan seperti apa yang dibutuhkan, baru bisa ditentukan organisasi dan SDM (sumber daya manusia)-nya,” kata Indria.
Ia mengatakan, selama ini TNI banyak orientasi ke pertahanan di darat dan manusia. Padahal, jaman sudah berubah di mana teknologi memegang faktor penting. Dengan pemikiran bahwa saat ini dunia telah masuk dalam era Revolusi Industri 4.0 itulah organisasi TNI dibentuk.
Sebelumnya, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan, dalam struktur sumber daya manusia TNI, banyak ratusan perwira menengah yang menganggur. Untuk mengatasi hal itu, dilakukan penataan organisasi untuk menyediakan 60 jabatan untuk perwira tinggi. Misalnya, jabatan yang saat ini dijabat brigadir jenderal dinaikkan menjadi mayor jenderal. Dengan demikian, bawahannya yang tadinya kolonel bisa naik jadi brigjen. Status Korem juga dinaikan sehingga komandanya yang tadinya kolonel juga menjadi brigjen. Selain itu, TNI juga menunggu revisi UU Nomor 34/2004 tentang TNI sehingga usia pensiun bintara dan tamtama bisa dinaikkan dari 53 jadi 58. Anggota TNI aktif juga akan diberi kesempatan mengisi jabatan di kementerian.
Peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Alman Helvas Ali menilai, penambahan jabatan untuk perwira tinggi bukan solusi efektif. Persoalan menggelembungnya piramida TNI di bagian tengah, di mana banyak kolonel tertunda untuk naik jabatan, berasal dari UU TNI yang memperpanjang usia dinas aktif perwira dari 55 tahun menjadi 58 tahun. Masalah ini mengemuka sejak 2008.
Menurut Alman, upaya reorganisasi TNI harus dilihat dari persepsi ancaman. Dengan adanya aktor negara dan non negara, saat ini organisasi TNI yang ada mampu menghadapi ancaman. Asalkan, TNI memiliki personil yang terampil dan alutsista yang layak secara kuantitas dan kualitas. Kedua, dengan anggaran terbatas, alokasi saat ini lebih banyak untuk anggaran rutin untuk belanja personil. Kenaikan jumlah perwira tinggi serta tambahan tamtama dan bintara karena pengunduran usia pensiun akan lebih menguras anggaran yang seharusnya untuk persenjataan.
“Menurut saya, solusinya adalah pensiun dini bagi perwira-perwira menengah. Sejak awal, pembinaan personil seharusnya melaksanakan hal ini,” kata Alman.
Iis Gindarsah, peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) juga menilai kebijakan reorganisasai personil ini hanya bersifat praktis untuk mengatasi persoalan yang ada di internal organisasi TNI.
Hal senada diungkapkan pengajar Universitas Jenderal Ahmad Yani, Yohanes Sulaiman, mengatakan, solusi jabatan adalah solusi jangka pendek. “Lalu jangka panjangnya apa?,” katanya.