Korban dan Terduga Pelaku Pelecehan Seksual di UGM Sepakat Berdamai
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
SLEMAN, KOMPAS — Korban atau penyintas dan terduga pelaku sepakat berdamai atas kasus dugaan pelecehan seksual yang menimpa mahasiswi Universitas Gadjah Mada sewaktu menjalani Kuliah Kerja Nyata di Pulau Seram, Maluku, pada 2017. Permasalahan tersebut telah diselesaikan secara internal oleh pihak universitas.
”Pihak-pihak terkait dengan kesungguhan hati, ikhlas, lapang dada, dan saling bersepakat memilih penyelesaian nonlitigasi atau penyelesaian internal oleh UGM,” kata Rektor UGM Panut Mulyono di Ruang Sidang Pimpinan UGM, Gedung Pusat UGM, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (4/2/2019).
Korban atau penyintas merupakan mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM. Sementara itu, terduga pelaku adalah mahasiswa Fakultas Teknik UGM yang sedang menjalani KKN bersama korban di lokasi yang sama.
Kedua belah pihak sepakat berdamai setelah menandatangani nota kesepahaman dengan disaksikan oleh pihak universitas. Pertemuan tersebut dilakukan secara tertutup. Pihak UGM juga menegaskan, tidak ada pemaksaan ataupun rekayasa yang dilakukan dalam pengambilan kesepakatan damai tersebut.
Panut menyatakan, terduga pelaku telah mengakui kesalahannya dan memohon maaf atas perbuatan yang dilakukannya kepada korban. Selanjutnya, terduga pelaku harus menjalani konseling wajib oleh psikolog klinis yang ditunjuk pihak UGM. Korban juga akan mendapatkan layanan pemulihan trauma, baik dengan psikolog klinis yang dipilih oleh UGM maupun dipilih sendiri oleh korban. Pembiayaan atas pemulihan trauma tersebut juga ditanggung oleh UGM.
”Mandatory counselling harus dilakukan sampai dinyatakan selesai oleh psikolog yang menangani (terduga pelaku). Begitu juga trauma counselling yang dilakukan harus sampai dinyatakan pulih psikologisnya,” kata Panut.
Wakil Rektor Bidang Alumni dan Kerja Sama UGM Paripurna P Sugarda menyampaikan, langkah damai itu diambil berdasarkan rekomendasi dari Komite Etik yang dibentuk oleh Panut beberapa waktu lalu. Namun, isi rekomendasi itu tidak akan dibuka ke publik agar tidak memberikan dampak psikologis bagi korban dan terduga pelaku.
”Kami memutuskan untuk tidak membuka kesimpulan dari Komite Etik karena rekomendasi dari komite etik merupakan masukan bagi kami untuk mengambil keputusan. Isinya seperti apa, kami tidak akan membukanya demi menjaga kondisi psikologis adik-adik kami,” kata Paripurna.
Sementara itu, terkait sanksi yang diberikan kepada terduga pelaku, Panut mengungkapkan telah memberikannya sejak awal penyelesaian kasus ini. Konseling wajib dianggap sebagai bentuk hukuman. Sebab, akibat konseling wajib itu, wisuda terduga pelaku yang seharusnya bisa dilakukan pada 2018 menjadi tertunda.
Terduga pelaku telah mengakui kesalahannya dan memohon maaf atas perbuatan yang dilakukannya kepada korban. Selanjutnya, terduga pelaku harus menjalani konseling wajib oleh psikolog klinis yang ditunjuk pihak UGM.
”Sanksinya sudah banyak. Seharusnya dia lulus kemarin-kemarin, tetapi ini belum lulus. Dia bisa lulus jika mandatory counselling dinyatakan selesai oleh psikolog klinis,” kata Panut.
Panut menambahkan, korban juga bakal ditanggung biaya perkuliahannya hingga rampung studi. Tidak dapat dimungkiri, akibat kasus itu, studi korban sempat terkendala karena kondisi psikologisnya terganggu. Saat ini, korban sedang menyusun skripsinya.
”Kami menjamin biaya penyelesaian studi ditanggung oleh UGM. Nanti dibantu biaya studinya sampai selesai. Biaya itu termasuk biaya kehidupan seperti yang diterima korban sebagai penerima beasiswa Bidik Misi,” ujar Panut.
Korban dan terduga pelaku diharapkan bisa menyelesaikan studi di universitas tersebut. Pihak fakultas diminta mengawal penyelesaian pendidikan keduanya agar bisa rampung pada Mei 2019 dan memastikan hal-hal yang telah disepakati benar-benar dijalankan.
Dekan Fisipol UGM Erwan Agus Purwanto mengungkapkan, pihaknya siap mengawal studi korban agar segera bisa diselesaikan. Kondisi psikologis korban juga akan terus diperhatikan. Keputusan untuk berdamai ditempuh dalam proses diskusi yang panjang dan secara aktif melibatkan korban.
”Secara rutin kami memang mengawal kasus ini. Dan, ada tim, terutama dari dosen pembimbing skripsi dan wakil dekan, yang punya kedekatan dengan yang bersangkutan. Ada tahapan yang panjang. Kami mendengarkan dengan sabar, telaten, hingga mendapatkan apa yang diinginkan sore ini,” kata Erwan.
Hal serupa diungkapkan oleh Dekan Fakultas Teknik Nizam. Keputusan yang diambil sore itu merupakan jalan terbaik. Pertemuan antara korban dan terduga pelaku berjalan dengan kondusif dan keputusan damai diambil secara sadar. Pihaknya juga memastikan apa yang telah disepakati akan dijalankan sebagaimana mestinya.