Kualitas Guru Jadi Fokus Penilaian Akreditasi Sekolah
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam penyusunan rencana perubahan sistem akreditasi sekolah, Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah atau BAN-S/M akan fokus pada penilaian kualitas guru dan sarana prasarana. Mereka juga akan mengacu pada gagasan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy untuk menghilangkan sistem akreditasi bertingkat yang selama ini digunakan.
Ketua BAN-S/M Toni Toharudin mengatakan, selama ini penilaian akreditasi sekolah selalu fokus pada persoalan administrasi. ”Kami akan fokus pada kunjungan untuk menilai kinerja sekolah tersebut,” kata Toni di Jakarta, Senin (4/2/2019).
Ia mengatakan, berdasarkan analisis hasil akreditasi pada 2018 dan sebelumnya, rekomendasi yang disampaikan BAN-S/M ialah meminta pemerintah untuk mengambil kebijakan yang berorientasi pada perbaikan kualitas guru dan tenaga kependidikan. Prioritas berikutnya ada pada perbaikan sarana dan prasarana pendidikan.
”Tingkat pemenuhan standar yang rendah pada pendidik terjadi karena rendahnya guru yang memiliki sertifikat pendidik,” kata Toni. Selain itu, sekolah yang belum memenuhi standar dipengaruhi oleh rendahnya jumlah tenaga perpustakaan dan laboran yang memenuhi kualifikasi.
Meskipun demikian, administrasi tetap menjadi salah satu bahan penilaian. Terkait dengan hal tersebut, BAN-S/M akan menggunakan data dari Data Pokok Pendidikan (Dapodik) yang ada di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Adapun madrasah akan menggunakan data dari Education Management Information System (Emis).
Dalam pembahasan kerangka rencana perubahan sistem akreditasi sekolah, BAN-S/M mengacu pada keinginan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy untuk menghilangkan sistem akreditasi bertingkat.
Sebelumnya, sistem akreditasi sekolah yang digunakan ialah akreditasi bertingkat A, B, C, dan tidak terakreditasi. Muhadjir telah memaparkan gagasannya, hanya akan membuat sistem sekolah terakreditasi dan tidak terakreditasi (Kompas, 31/1/2019).
Toni pun setuju dengan gagasan Muhadjir. ”Dengan gagasan tersebut, pemerintah daerah dan pusat akan berusaha meningkatkan standar yang masih lemah pada sekolah yang tidak terakreditasi,” ujarnya.
Menurut Toni, sesuai dengan gagasan Muhadjir, pemerintah tidak akan fokus pada peringkat sekolah, tetapi pada substansi pembelajaran. Dalam hal ini, guru memiliki peranan penting.
Toni berharap, pembahasan kerangka rencana perubahan sistem akreditasi sekolah dapat selesai pada pertengahan Februari 2019. Selanjutnya, ia menargetkan sistem akreditasi sekolah yang baru dapat digunakan pada pertengahan 2019.
Kurangi diskriminasi
Pemerhati pendidikan Doni Koesoema A mengatakan, rencana pemerintah mengubah sistem akreditasi sekolah dengan membagi menjadi sekolah terakreditasi dan tidak terakreditasi merupakan langkah yang tepat untuk menghilangkan gradasi dan diskriminasi. Gagasan ini dipandang dapat mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah sesuai standar nasional.
Menurut Doni, akreditasi sekolah yang selama ini digunakan dengan sistem bertingkat A, B, C, dan tidak terakreditasi membuat masyarakat memandang baik atau buruknya kualitas suatu sekolah hanya dari tingkatan akreditasinya. Bahkan, sistem bertingkat ini memengaruhi jatah Seleksi Nasional Masuk Perguran Tinggi Negeri (SNMPTN).
Menurut Doni, kebijakan yang ada pada SNMPTN dengan memberi jatah lebih banyak kepada sekolah atau madrasah berakreditasi A merupakan bentuk diskriminasi. ”Siswa yang akan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi bukan membawa nama baik sekolah, tetapi kualitas dirinya,” kata Doni.
Karena itu, kriteria sistem akreditasi memiliki pengaruh yang besar. Agar memenuhi standar nasional, sekolah akan fokus pada pembelajaran. Untuk memenuhi itu, guru harus memenuhi standar yang telah ditetapkan pemerintah.
Di sisi lain, kesejahteraan guru juga perlu menjadi salah satu unsur untuk menilai akreditasi sekolah. Menurut Doni, guru harus diberdayakan karena mereka memiliki peranan besar dalam mengembangkan pendidikan.
”Sekolah yang menggaji guru di bawah UMR (upah minimum regional) seharusnya masuk dalam kategori tidak terakreditasi,” ujar Doni.