JAKARTA, KOMPAS
Indonesia berpeluang besar menerbitkan surat utang global baru. Surat utang global itu menggunakan denominasi valuta asing, seperti Panda Bond dalam yuan, Blue Bond di bidang kelautan, dan Catastrophe Bond di bidang asuransi bencana alam.
Namun, penerbitan surat utang global mesti mempertimbangkan dinamika global dan komitmen Indonesia.
Adapun rencana diversifikasi denominasi surat utang negara, selain dalam dollar AS, euro, dan yen, masih akan tertunda.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan yang dikutip Kompas, Minggu (3/2/2019), kebutuhan pembiayaan atau utang pada 2019 sebesar Rp 833,93 triliun. Jumlah ini untuk membiayai defisit APBN Rp 296 triliun, jatuh tempo utang Rp 474,68 triliun, dan non-utang berupa investasi dan pemberian pinjaman Rp 63,25 triliun.
Target penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) bruto Rp 825,7 triliun, sedangkan SBN neto Rp 388,96 triliun.
Adapun utang luar negeri Indonesia per November 2018 sebesar 372,864 miliar dollar AS.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman menjelaskan, setiap tahun pemerintah menerbitkan surat utang negara (SUN) dengan denominasi valas untuk membiayai belanja dalam negeri. SUN tersebut dalam dollar AS, euro, dan yen.
Sinyal Bank Sentral AS, The Fed, yang menahan kenaikan suku bunga acuan, membuat tren biaya bunga utang positif.
“Ini baru satu situasi. Kami tetap berhati-hati menentukan arah kebijakan dan menyiapkan berbagai skenario kebijakan,” kata Luky.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) enny Sri Hartati yang dihubungi Minggu, menyampaikan, utang mesti seefisien mungkin dengan risiko serendah mungkin.
”Kita sudah punya pengalaman soal utang. Jangan hanya sekadar murah, tapi risiko tetap mesti diperhitungkan. Semua aspek mesti dikalkulasi,” ujar Enny, yang dimintai komentar mengenai diversifikasi denominasi utang valas.
Investasi
Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo, pekan lalu, menyampaikan, momentum penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS bisa dimaksimalkan untuk mendorong investasi yang mendongkrak nilai tambah produk ekspor barang dan jasa.
“Dalam investasi langsung jangka pendek, BI mendorong beberapa sektor, antara lain, tekstil, otomotif, elektronik dan pariwisata,” ujar Dody.
Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, nilai tukar rupiah meninggalkan Rp 14.000-an pada Jumat (1/2/2019), yakni Rp 13.978 per dollar AS. Terakhir kali rupiah lebih kuat dari Rp 14.000-an per dollar AS pada 8 Juni 2018, yakni Rp 13.902 per dollar AS.
Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla meresmikan ekspor perdana produk elektronik dari Batam, Kepulauan Riau, ke Amerika Serikat, Sabtu (2/2).
Direktur Utama PT Sat Nusapersada Tbk, Abidin, dalam peresmian ekspor perdana itu menyampaikan, biaya logistik di Batam amat mahal. Kondisi ini menggerus daya saing produk Kota Batam.
Menanggapi keluhan itu, Wapres Kalla dalam pidatonya berjanji mengupayakan agar biaya logistik semakin efisien. (KRN/LAS/IDR/E18)