JAKARTA, KOMPAS - Penyedia layanan media sosial didorong untuk menerapkan langkah sistematis dan berkesinambungan untuk meredam hoaks. Pemblokiran akun yang selama ini telah dilakukan dianggap hanya langkah jangka pendek yang tidak mampu meredam penyebaran kabar bohong yang telah viral.
Pendiri Kelas Muda Digital, Afra Suci Ramadhon, menilai, langkah Facebook menghapus ratusan akun dan halaman di media sosial itu yang dinilai menyebar hoaks tidak akan terlalu efektif untuk meredam produksi dan penyebaran kabar bohong di ranah dunia maya. Menurut dia, kebijakan penghapusan akun bisa dengan mudah diakali, terutama oleh para pembuat hoaks yang terorganisir, misalnya dengan membuat akun-akun baru.
"Cara itu memang bisa sedikit membatasi penyebaran hoaks secara cepat, walaupun bukan solusi permanen. Sebab, prinsip penyedia media sosial adalah pengguna bisa mudah berbagi sesuatu ke jaringannya, sehingga esuatu yang sudah terlanjur viral akan sulit dihentikan," ujar Afra yang dihubungi di Jakarta, Sabtu (2/2/2019).
Di tengah masa kampanye Pemilu 2019, Facebook menutup sejumlah akun di Indonesia yang dianggap melanggar standar komunitas mereka. Facebook menginvestigasi perilaku penggunanya sejak 2018. Sejauh ini Facebook menghapus 207 halaman, 800 akun, 546 grup, dan 208 akun Instagram di Indonesia. Beberapa contoh halaman Facebook yang dihapus adalah Permadi Arya, Kata Warga, dan Darknet ID. Adapun contoh grup Facebook yang dihapus adalah Berita Hari Ini dan AC Milan Indo. Akun tersebut diduga berhubungan dengan Saracen, sindikasi penyebar informasi palsu dan ujaran kebencian melalui media sosial di Indonesia. Jaringan ini tahun lalu diungkap oleh Polri (Kompas, 2/2/2019).
Oleh karena itu, Afra menekankan, perlu ada langkah konkrit dan sistematis yang dilakukan penyedia media sosial untuk membatasi pihak-pihak yang ingin memanfaatkan layanan jejaring sosial dengan konten-konten hoaks dan ujaran kebencian. Ia menjelaskan, Facebook perlu memperbaiki model bisnis yang menyebarkan iklan berdasarkan keterkaitan (engagement) para pemilik akun.
"Semakin tinggi engagement menandakan semakin banyak pengguna aktif dan ini peluang untuk mengidentifikasi pengguna yang menjadi target iklan. Tidak sedikit hoaks yang menyebar dengan memasang iklan," tuturnya.
Untuk langkah pemberantasan hoaks yang berkesinambungan, Afra menilai, Facebook perlu memiliki tim yang memadai untuk mengidentifikasi hoaks sesuai konten lokal di Indonesia. Alhasil, Facebook tidak hanya bergantung pada laporan dari sistem pengawasan lembaga pemerintah dan pengguna untuk menilai konten-konten hoaks yang menyebar di "dinding". Langkah itu diperlukan karena Indonesia menjadi pengguna Facebook terbanyak keempat di dunia dengan jumlah pengguna sekitar 130 juta.
Langkah pemerintah
Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Ferdinandus Setu mengatakan, pihaknya secara aktif telah melakukan kontra narasi terhadap penyebaran hoaks melalui pengumuman klarifikasi hoaks di grup media digital masyarakat. Kebijakan itu dimaksudkan agar masyarakat memiliki kepedulian bersama untuk melawan hoaks dengan membuat viral klarifikasi terhadap setiap kabar bohong yang beredar.
Kementerian Kominfo mencatat rata-rata setiap tahu terdapat sekutar 800 ribu konten hoaks. Atas dasar itu, lanjut Ferdinandus, sekitar 6.000 akun media sosial telah diblokir oleh Kementerian Kominfo.
Wakil Kepala Kepolisian Negara RI Komisaris Jenderal Ari Dono Sukmanto menuturkan, antisipasi penyebaran hoaks menjadi salah satu prioritas Polri dalam pengamanan Pemilu 2019. Upaya-upaya pencegahan hoaks dilakukan berkesinambungan mulai dari Badan Reserse Kriminal Polri hingga kepolisian daerah (polda).
"Seluruh pimpinan polda telah diperintahkan untuk menyusun langkah penindakan dan pencegahan terhadap kejahatan siber, termasuk hoaks. Seluruh pihak memiliki peran untuk meredam penyebaran hoaks," kata Ari.