Pengaturan Pola Tanam Masih Menjadi Pekerjaan Rumah
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS - Fluktuasi harga komoditas pertanian, yakni anjlok saat pasokan melimpah dan melonjak saat paceklik, masih menjadi masalah di sejumlah daerah di Indonesia termasuk di Jawa Tengah. Pengaturan pola tanam dan hilirisasi perlu terus didorong.
Presiden Joko Widodo, di sela-sela silaturahmi dengan tenaga harian lepas tenaga bantu penyuluh pertanian (THL-TBPP) di GOR Jatidiri, Kota Semarang, Jawa Tengah, Minggu (3/2/2019), mengatakan, masih banyak hal yang perlu dikerjakan di bidang pertanian.
Meski impor sejumlah komoditas, seperti jagung, sudah jauh menurun, pengaturan tata kelola tanam perlu menjadi perhatian. "Jangan sampai, karena tidak diatur tata waktunya, produksi melimpah sehingga harga anjlok dan petani rugi. Harus diatul betul," kata Presiden.
Presiden menambahkan, hilirisasi produk pertanian juga terus disiapkan. Cabai merah, misalnya, jangan hanya mengandalkan yang segar, tetapi didorong industri pemanfaatan cabai. Namun, agar industri terbangun perlu adanya kepastian suplai secara rutin.
Ia juga mencontohkan cokelat yang industrinya didorong, tetapi lalu kekurangan suplai, sehingga bahan bakunya impor. "Suplai dan demand (permintaan) diatur dengan manajemen makro yang lebih baik. Bisnis di bidang pertanian ini pekerjaan besar. Harus diatur dengan baik," ujarnya.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menuturkan, hal itu merupakan permasalahan puluhan tahun, sehingga tak bisa diselesaikan dengan seketika. Namun, upaya terus dilakukan pemerintah sehingga ke depan, tata kelola tanam dapat dilakukan dengan baik.
Dua hal utama yang dilakukan pemerintah yakni mengatur pola tanam dan menyediakan cold storage atau gudang yang dilengkapi pendingin. "Sehingga saat masa puncak panen, diserap dan dimasukkan ke cold storage. Ini terus kami dorong," katanya.
Upaya itu, lanjut Amran, didukung oleh pembangunan infrastruktur pendukung irigasi, seperti bendungan dan embung. Dengan demikian, saat musim kering, petani tetap bisa menanam. Lonjakan harga komoditas pun diharapkan tak terjadi karena tak ada lagi musim paceklik.
Meski demikian, dikatakan Amran, produksi pertanian saat ini terus meningkat. "Yang terpenting, menurut BPS (Badan Pusat Statistik), penopang utama dalam menekan inflasi ialah pangan. Ini menunjukkan bahwa produksi (pertanian) kita sangat baik," ucapnya.
Jateng siapkan sistem
Pada pertengahan Januari 2019, petani di Kabupaten Demak dan Jepara merugi hingga Rp 10 juta per hektar akibat harga cabai anjlok. Harga cabai keriting turun menjadi Rp 6.000 per kg dari Rp 15.000 per kg. Pasokan melimpah di pasaran diduga jadi penyebabnya.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo menuturkan, pihaknya menyiapkan sistem agar tata kelola pertanian membaik. "Kami akan masuk pada tahapan yang menyediakan informasi agar diketahui berapa lahan yang dimiliki, menanam apa, kapan, dan di mana," kata Ganjar.
Dengan demikian, lanjut Ganjar, pemerintah bisa segera bergerak untuk menyediakan keperluan seperti obat, pupuk, serta ada penghitungan perkiraan masa panen. Penyuluh memiliki peran untuk mendukung sistem ini.
Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Jateng Suryo Banendro, menambahkan, urusan menanam memang menjadi hak petani. Namun, penyuluh terus akan terus didorong untuk memberi pemahaman kepada para petani, sehingga sistem akan terbangun.
"Jateng akan memulai Sistem Logistik Daerah. Nantinya, persoalan di lapangan dapat terdeteksi lebih dini sehingga bisa diantisipasi. Sejak 2018, kami mulai dengan kajian akademis dan sekarang masih akan menentukam modelnya. Semoga bisa segera dimulai," ujarnya.