Persaingan Tetap Berat
Lifter-lifter Indonesia tetap perlu berlatih keras meskipun para atlet Thailand terancam dijatuhi sanksi larangan berlomba karena doping. Peta persaingan juara masih ketat.
JAKARTA, KOMPAS Ancaman larangan berlomba bagi tim angkat besi Thailand pada Olimpiade Tokyo 2020 karena kasus doping tidak menjamin persaingan angkat besi menjadi mudah bagi Indonesia.
Tanpa Thailand, peta persaingan masih ketat karena banyak lifter tangguh yang harus dihadapi tim ”Merah Putih”, seperti dari China dan Kazakhstan.
Tim angkat besi Thailand terancam sanksi larangan berlomba dari Federasi Angkat Besi Internasional (IWF) menyusul doping empat lifter mereka pada Kejuaraan Dunia 2018.
Aturan IWF menegaskan, negara yang mempunyai tiga atau lebih atlet dengan status positif doping dalam satu tahun kalender menghadapi larangan berlomba hingga empat tahun.
Dengan empat lifter dinyatakan positif doping, Thailand kemungkinan besar absen pada SEA Games 2019 dan Olimpiade 2020.
Ketua Bidang Pembinaan dan Prestasi Pengurus Besar Persatuan Angkat Berat, Binaraga, dan Angkat Besi Seluruh Indonesia (PB PABBSI) Alamsyah Wijaya mengatakan, jika Thailand dijatuhi sanksi larangan berlomba, memang cukup menguntungkan Indonesia. Apalagi, selama ini kekuatan Thailand selalu membayangi di kategori lomba andalan Indonesia, yaitu di kelas putri 49 kg dan putra 61 kg.
Namun, di sisi lain, tanpa Thailand, persaingan angkat besi dunia masih berat. ”Masih ada lawan dari China dan Kazakhstan. Persaingan akan tetap ramai,” ujar Alamsyah di Jakarta, Minggu (3/2/2019).
Tahun ini kekuatan tim ”Merah Putih” akan diuji pertama kali pada Kejuaraan Angkat Besi Internasional Piala Raja EGAT, Chiang Mai, Thailand, 7-10 Februari.
Dalam kejuaraan yang termasuk kualifikasi Olimpiade 2020 ini, Indonesia mengirimkan empat lifter, yakni Acchedya Jagaddhita (kelas 59 kg), Nurul Akmal (+87 kg), Deni (67 kg), dan Triyatno (73 kg). Adapun Syarah Anggraini (49 kg) batal berlomba karena ada kesalahan dalam pengisian formulir keberadaan atlet.
Pelatih angkat besi putri, Supeni, mengatakan, pihaknya tidak ingin merayakan status doping lifter-lifter Thailand. ”Kami tidak ingin bertepuk tangan dengan adanya kasus doping Thailand. Kami harus tetap waspada karena mereka punya banyak lifter pelapis,” ujarnya.
Selain itu, menurut Supeni, lifter Indonesia perlu mewaspadai pertemuan dengan negara lain, seperti Vietnam dan Filipina. Apalagi, Filipina akan menjadi tuan rumah SEA Games 2019 sehingga kemungkinan besar melakukan persiapan dengan lebih baik.
Supeni menjelaskan, saat ini persiapan tim Indonesia sudah berjalan 95 persen. Tim ditargetkan dapat memulihkan jumlah angkatan total, seperti saat tampil pada Kejuaraan Dunia 2018, November lalu.
Uji doping
Terkait doping lifter-lifter Thailand, IWF menyatakan telah menguji setengah lebih dari 600 lifter peserta Kejuaraan Dunia 2018. Hasilnya, tak ada atlet yang positif doping.
IWF kemudian melakukan analisis lebih lanjut pada sampel atlet-atlet yang dicurigai di laboratorium antidoping Cologne, Jerman. Analisis itu menggunakan teknik paling canggih saat ini, yaitu Gas Chromatography-Combustion-Isotope Ratio Mass Spectrometry (GC-C-IRMS).
Setelah diuji, terdapat empat lifter Thailand yang dinyatakan positif doping. Dua di antaranya peraih medali emas Olimpiade 2016 dan juara dunia 2018, yaitu Srisurat Sukanya (55 kg) dan Sopita Tanasan (49 kg). Chitchanok Pulsabsakul (+87 kg) dan juara dunia Thunya Sukcharoen (45 kg) juga dinyatakan positif doping.
Akhir Desember lalu, dua lifter Thailand juga dilarang berlomba karena doping, yaitu Teerapat Chomchuen dan Duangaksorn Chaidee. Pada 2011, tujuh lifter remaja Thailand dilarang berlomba karena positif doping, di antaranya Srisurat Sukanya dan Chitchanok Pulsabsakul. (DNA)