Relasi industri hulu dan hilir yang berbeda kepentingan relatif lebih mudah dikelola jika keduanya terintegrasi. Lain halnya apabila kedua entitas tersebut terpisah. Masing-masing memiliki kepentingan dan kerap tak seiring sejalan.
Fenomena dominasi baja impor di pasar dalam negeri menjadi salah satu persoalan yang belum tuntas. Harga baja impor yang lebih rendah menjadi tantangan tersendiri dalam mendorong penggunaan baja produksi dalam negeri.
Mengutip Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita di Cikarang Barat, Bekasi, Jawa Barat, pada Januari lalu mengundang industri hulu dan hilir serta para importir baja. Pada pertemuan tersebut Enggartiasto mengajak semua pihak bersama-sama memikul tanggung jawab, dari sisi ekonomi, kepada Bangsa. Kebutuhan besi dan baja -termasuk untuk pembangunan- sepatutnya dapat dipenuhi dari dalam negeri.
Larangan impor secara lugas tentu berpotensi diajukan sengketanya ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Di sisi lain, upaya mendorong tingkat kandungan dalam negeri juga penting sebagai bagian ikhtiar mengembangkan industri di Tanah Air.
Disebutkan, kecepatan izin impor hanya akan diberikan untuk baja sebagai bahan baku industri yang tidak dapat dipasok dari dalam negeri. Baja tersebut, misalnya yang dibutuhkan industri otomotif dan elektronika.
Di lain pihak, industri hulu diwanti-wanti agar tidak lantas sewenang-wenang memasang harga tinggi. Sebab, harga yang terlalu tinggi akan memberatkan industri pengguna. Daya saing produk industri hilir akan tergerus tatkala material yang harganya mahal sudah dibebankan sejak awal.
Terkait hal ini, para pihak diminta duduk berhadapan atau istilahnya "adu jangkrik" untuk menentukan harga. Harga yang pas memang harus disepakati kedua pihak.
Kini, kemampuan produsen atau industri hulu memprioritaskan pasokan baja di pasar lokal dengan harga kompetitif, dinanti. Kekosongan di pasar domestik hanya akan memberi ruang bagi penetrasi baja impor. Tantangan berat yang tentu harus dijawab, bukan hanya oleh produsen baja, tetapi juga semua pemangku kepentingan.
Kemampuan industri dalam negeri menguasai pangsa pasar di Tanah Air dapat menjadi tambahan bekal menggarap pasar global. Apalagi, selain memunculkan tantangan, dinamika perkembangan dunia juga berpotensi membuka peluang baru.
Menurut catatan Kementerian Perindustrian, perang dagang Amerika Serikat-China juga berdampak pada utilitas yang terpacu atau kapasitas produksi pelaku industri Indonesia dalam mengisi pasar ekspor ke dua negara tersebut. Ekspor besi dan baja Indonesia ke AS pada Januari-November 2018 melonjak hingga 87,7 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Secara total, data Kementerian Perdagangan menunjukkan, ekspor besi dan baja Indonesia pada 2018 sebesar 5,75 miliar dollar AS. Angka ini menunjukkan kenaikan 72,4 persen dibandingkan dengan 2017 yang sebesar 3,33 miliar dollar AS.
Ada harapan Indonesia dapat lebih banyak mengekspor produk industri pengolahan nonmigas sebagai kompensasi impor tinggi di sektor migas. Industri baja -yang disebut sebagai induk berbagai sektor industri dalam negeri- harus berkiprah semakin besar dalam menggarap pasar domestik dan global. (C Anto Saptowalyono)