Cegah Radikalisme di Kampus, Elite Mesti Jadi Teladan
Oleh
Khaerudin
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Elite pemerintah diharapkan menjadi teladan dalam penerapan ideologi pancasila dalam kehidupan berbangsa untuk menangkal radikalisme. Tanpa adanya teladan, pemerintah akan kesulitan menangkal radikalisme di tengah masyarakat, termasuk di lingkungan kampus.
Peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, Selasa (5/2/2019), mengapresiasi terbitnya Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Nomor 55 Tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi Bangsa dalam Kegiatan Kemahasiswaan di Kampus dalam menangkal radikalisme di lingkungan kampus. Namun, menurut dia, peraturan saja tidak cukup. Mahasiswa butuh teladan dalam menerapkan nilai-nilai Pancasila.
”Kita butuh teladan sebanyak-banyaknya, baik dari kampus maupun dari tokoh-tokoh dan elite-elite kita. Mulai dari tutur kata sampai perilaku dan tindakannya,” kata Siti dalam Diskusi Implementasi Peraturan Menristekdikti Nomor 55 Tahun 2018 di Jakarta. Acara ini dihadiri Menristekdikti Mohamad Nasir serta anggota Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI).
Siti melanjutkan, penerapan nilai-nilai pancasila itu harus dimulai dari dwitunggal kepemimpinan nasional hingga tingkat desa. Penerapan itu juga berlaku bagi aktor partai politik. Tanpa teladan, reaktualisasi nilai-nilai Pancasila itu akan sia-sia.
”Kalau itu tidak kita lakukan, mau seribu peraturan menteri pun tidak akan berdampak. Kita hanya surplus ujaran-ujaran, tetapi minus dalam aplikasi,” ucapnya.
Peraturan Menristekdikti yang diundangkan pada 26 Oktober 2018 itu diterbitkan karena berkembangnya paham radikal di kampus. Hal ini mengacu pada hasil survei The Wahid Foundation tahun 2017. Dalam survei itu, dari 1.800 mahasiswa di 25 perguruan tinggi, terungkap 29,5 persen responden tidak mendukung pemimpin non-Muslim, 19,8 persen mahasiswa menyetujui peraturan daerah syariah, dan 23 persen mahasiswa setuju berdirinya negara Islam.
Salah satu implementasi dari peraturan itu, perguruan melalui rektor dapat membentuk Unit Kegiatan Mahasiswa Pengawal Ideologi Bangsa (UKM PIB). UKM PIB nantinya diisi organisasi ekstrakampus, seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).
”Ada 23 persen mahasiswa berpotensi radikal karena tidak ada kelompok organisasi mahasiswa yang mengawal ideologi luar yang masuk ke dalam kampus. Maka (keberadaan UKM PIB) ini menjadi penting,” ujar Nasir.
Ada 23 persen mahasiswa berpotensi radikal karena tidak ada kelompok organisasi mahasiswa yang mengawal ideologi luar yang masuk ke dalam kampus.
Ia menambahkan, UKM PIB ini nantinya akan menyosialisasikan empat unsur konsensus dasar berbangsa, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Menurut Nasir, sejauh ini respons perguruan tinggi terhadap peraturan ini relatif baik.
”Sudah ada dua perguruan tinggi yang akan membentuknya (UKM PIB),” ucapnya. Salah satu perguruan tinggi tersebut adalah Institut Pertanian Bogor.
Catatan
Terkait penerapan peraturan itu, Siti memberikan sejumlah catatan. Pertama, belum jelas variabel dan indikator yang digunakan agar hasil dari penerapan aturan ini terukur. Kedua hal itu penting bagi dosen ataupun pimpinan di kampus sehingga bisa memberikan laporan kemajuan dan efektivitas dari upaya yang dikerjakan.
”Jangan hanya business as usual. Ada atau tidak peraturan menteri sama saja,” ujar Siti.
Kedua, dalam peraturan ini, belum jelas bentuk pengawasan dari Kemenristekdikti dalam penerapannya. Apakah rektor sebagai pemimpin di kampus yang dimintai pertanggungjawaban oleh Kemenristekdikti.
”Saya tidak tahu seperti apa pola pengawasannya. Satu tahun pertama yang betul-betul hendak dilihat oleh Pak Menteri adalah capaian dalam hal apa? Apakah mungkin di kampus-kampus akan dibaca trennya kecintaan terhadap Pancasila atau kecenderungan untuk musyawarah mufakat atau mungkin nuansa intelektual di kampus itu lebih meningkat, atau apa, saya tidak tahu,” tuturnya. (YOLA SASTRA/PANDU WIYOGA)