Gerai Maritim, Tingkatkan Daya Saing Produk Lokal
JAKARTA, KOMPAS — Program tol laut dinilai sejumlah kalangan efektif dalam menekan biaya produksi dan mengatasi disparitas harga antarwilayah. Tak hanya itu, kebijakan ini juga dinilai mampu meningkatkan daya saing produk lokal.
Melalui pengembangan program gerai maritim selama satu tahun terakhir, Kementerian Perdagangan memanfaatkan program tol laut untuk mengurangi disparitas harga dan meningkatkan ketersediaan atau pasokan barang. Pelayaran kapal barang tol laut secara rutin dan terjadwal diberangkatkan dari barat sampai ke timur Indonesia, begitu pun sebaliknya.
Dengan demikian, pemanfaatan tol laut dapat meningkatkan daya saing produk-produk dalam negeri. ”Misalnya, dengan mengangkut bahan baku yang dihasilkan daerah timur Indonesia dengan biaya yang lebih murah serta efisien untuk diproses lebih lanjut menjadi produk di daerah industri,” kata Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dalam siaran pers, Selasa (5/2/2019).
Gerai maritim dilaksanakan untuk meningkatkan kelancaran arus dan ketersediaan barang kebutuhan pokok dan barang penting. Program ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
Enggar menjelaskan, tujuan program ini yaitu mengurangi biaya distribusi barang; meningkatkan perdagangan antarpulau; memperluas jaringan distribusi produk unggulan daerah setempat sebagai muatan balik dan meningkatkan kesejahteraan petani serta nelayan di daerah terpencil, tertinggal, terluar, dan perbatasan (3TP), melalui pemanfaatan tol laut yang lebih optimal.
Baca juga: Tol Laut Menekan Disparitas Harga dan Melancarkan Distribusi Logistik
Dalam pelaksanaannya, program gerai maritim juga memanfaatkan penyelenggaraan pelayanan publik. Layanan ini untuk angkutan barang oleh Kementerian Perhubungan dengan tarif kompensasi.
”Pemerintah memberi subsidi ongkos angkutan laut untuk mendukung tol laut, yaitu melalui gerai maritim. Tujuannya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengurangi disparitas harga, serta meningkatkan daya saing produk-produk Indonesia di pasar regional dan di pasar global,”ujar Enggar.
Program gerai maritim yang disinergikan dengan tol laut mampu mendorong pergerakan harga barang kebutuhan pokok dan barang penting di wilayah timur ke level wajar. Sejak pertama kali diluncurkan pada 2015, kebijakan tol laut mampu mengurangi disparitas harga di beberapa daerah, khususnya di wilayah timur, yaitu sekitar 40 persen.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Tjahya Widayanti mencontohkan di daerah Fakfak dan Kaimana di Papua. Saat ini, harga baja dan besi untuk bangunan turun sekitar 6 persen.
Sementara itu, harga semen di Papua juga sudah lebih murah, yakni Rp 500.000 per zak dari sebelumnya Rp 2 juta per zak. Konektivitas di jalur laut juga turut menekan harga bahan bakar minyak (BBM) di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal menjadi satu harga dengan di Pulau Jawa.
”Selain itu, untuk komoditas pangan, di Fakfak, Papua, harga beras yang awalnya Rp 13.000 per kilogram sekarang menjadi Rp 10.000 per kg. Di Natuna, harga beras dari Rp 14.000 per kg menjadi Rp 12.500 per kg,” ungkap Tjahya.
Kendala muatan kapal
Staf Ahli Bidang Iklim Usaha dan Hubungan Antarlembaga Kemendag Suhanto menyampaikan, pelaksanaan program tol laut melalui program gerai maritim dapat mengatasi sejumlah kendala yang selama ini dirasakan. Salah satu kendalanya yaitu perdagangan yang tak seimbang antara muatan kapal datang dan muatan kapal pulang.
”Sekretaris Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri bagian Program dan Kerja Sama juga telah mendukung ekspansi gerai maritim dengan menyiapkan gudang (depo gerai maritim) dan peningkatan manajerial serta SDM dari pedagang gerai maritim,” ungkap Suhanto.
Depo gerai maritim yang dibangun di beberapa daerah dan dilalui trayek tol laut berguna untuk sarana distribusi pendukung. Depo itu berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara barang setelah diturunkan dari kapal dan menampung produk unggulan daerah yang akan diangkut menjadi muatan balik sebelum diangkut kapal.
Sampai saat ini, ada sembilan depo gerai maritim, yakni di Kabupaten Wakatobi, Kepulauan Aru, Lembata, Sabu Raijua, Mimika, Kepulauan Yapen, Tidore Kepulauan, Fakfak, dan Teluk Wondama. (Kompas.id, 5 Februari 2019)
Keberadaan tol laut, kata Tjahya, sanggup menopang sistem perdagangan antarpulau. Sebab, biaya distribusi dapat ditekan karena kapal tidak kembali ke Pulau Jawa dengan muatan kosong. ”Misalnya, muatan yang dibawa dari wilayah timur itu meliputi komoditas ikan cakalang, ikan tenggiri, pala, dan ikan asin,” ujarnya.
Secara terpisah, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, menyampaikan hal senada. Menurut dia, salah satu upaya jangka panjang yang dapat dilakukan adalah membangun industri makanan pengolahan ikan di wilayah timur Indonesia.
”Dengan adanya industri makanan pengolahan ikan, kapal dari wilayah barat yang membawa bahan kebutuhan pokok dapat pulang dengan membawa hasil olahan ikan. Tentunya hal ini juga dapat menumbuhkan dan meningkatkan daya saing produk lokal khas daerah timur,” ujar Heri.
Selain itu, pemetaan juga menjadi hal penting yang disampaikan Heri. Pemetaan ini dimulai dari bagaimana mengembangkan pelabuhan yang berpotensi dalam menerima logistik dalam jumlah besar. ”Maka, perbaikan di pelabuhan berpotensi menjadi hal yang utama,” ujarnya.
Selanjutnya, saat barang yang dibawa oleh kapal tiba di pelabuhan, lantas bagaimana proses distribusinya. Menurut Heri, perlu adanya kerja sama lintas sektor yang mengurusi hal ini, terkait dengan kendaraan yang mengangkut hingga bagaimana akses jalan untuk pembagian logistik ke wilayah-wilayah, khususnya 3TP.
Lintas sektor
Disparitas harga merupakan permasalahan lintas sektor. Enggar menilai, setiap kementerian/lembaga terkait memiliki sejumlah lini penting yang dapat berkontribusi besar terhadap kelancaran arus distribusi barang.
Maka, pelaksanaan tol laut membutuhkan sinergisitas antara kementerian/lembaga dan stakeholder, termasuk Kementerian Perhubungan, Kemendag, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, pengusaha dan pemerintah daerah, hingga petani dan nelayan. (Kompas.id, 5 Februari 2019)
Berkenaan dengan sinergi antara gerai maritim dan tol laut, Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Laut Kemenhub Bay Mokhamad Hasani telah menyatakan komitmennya. Bay mendukung proses bongkar muat di pelabuhan yang disinggahi kapal-kapal pengangkut gerai maritim dan tol laut.
Peran Kemendag yaitu berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk melakukan pendataan; pemantauan dan evaluasi jenis, jumlah, dan harga barang dari dan ke daerah yang termasuk dalam program tol laut. Selain itu, mengatur jenis barang selain barang kebutuhan pokok dan penting yang dapat diangkut dalam program tol laut.
Dalam perkembangannya, Enggar berharap antara kementerian dan lembaga dapat terus memperkuat sinergi agar menjadi model bagi instansi terkait lainnya dalam pengembangan sistem logistik nasional. Hal ini mengacu pada enam penggerak utama, yaitu penyiapan komoditas oleh Kemendag didukung dinas kabupaten/kota yang membidang perdagangan.
Selain itu, pemberdayaan pelaku dan penyedia jasa logistik, yaitu Pelayaran Nasional Indonesia sebagai operator kapal yang didukung perusahaan ekspedisi dan gerai maritim. Penggerak berikutnya, pertukaran informasi dengan pemda dan kementerian yang terlibat.
”Ada juga pengembangan SDM logistik oleh Kemendag dan pemda, sinkronisasi peraturan oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman, Kemenhub, dan Kemendag. Serta pembangunan infrastruktur oleh Kemenhub dan Kemendag,” kata Enggar.
Sinergi Kemendag bersama kementerian dan lembaga terkait lainnya diperkuat untuk menjaga integrasi pasar dalam negeri. Selain itu, sebagai upaya meningkatkan perdagangan antarpulau di kawasan 3TP yang selama ini sulit diakses dengan jalur darat. (SHARON PATRICIA)