MEDAN, KOMPAS — Perayaan Imlek di Maha Wihara Maitreya di kompleks Cemara Asri, Medan, Sumatera Utara, Selasa (5/2/2019), penuh dengan nuansa persaudaraan dan pengharapan. Tidak hanya umat Buddha yang datang ke wihara itu, masyarakat non-Buddha juga datang untuk berlibur, menjalin persaudaraan, dan menambah pengetahuan tentang Imlek.
Umat Buddha tampak silih berganti bersembahyang di Maha Wihara Maitreya. Ada sekitar 5.000 umat yang datang bersembahyang di kompleks wihara seluas lebih kurang 4,5 hektar itu. Suasana sembahyang di wihara tersebut pun terasa begitu khidmat. Mereka membakar dupa lalu bersujud memanjatkan doa.
Setelah selesai membakar dupa, umat mengelus perut Rupang (patung) Buddha Maitreya setinggi 3 meter. Rupang dengan wajah penuh tawa ria itu berada di depan wihara menyambut setiap pengunjung wihara. ”Buddha Maitreya adalah simbol sukacita, kebahagiaan, kesejahteraan, dan keberuntungan,” kata Ketua Acara dan Perayaan Umum Maha Wihara Maitreya, Marwin Tan.
Setelah mengelus perut Rupang Buddha Maitreya, umat Buddha mengambil secara acak nasihat dari Buddha Maitreya yang ditulis dalam kertas kartu. Nasihat itu akan menjadi pedoman hidup umat selama satu tahun. Kartu itu biasanya ditaruh didompet agar mudah untuk dibaca kembali.
Marwin mengatakan, simbol pengharapan juga selalu terasa kuat dalam setiap perayaan Imlek. Karena itu, perayaan Imlek di wihara itu dipenuhi dengan nuansa pengharapan. Mereka, misalnya, membuat dua buah pohon mei hua tiruan yang sedang bermekaran sehingga menciptakan kesan musim semi.
Di China, pohon mei hua mekar pada perayaan Imlek yang biasanya jatuh di awal musim semi, setelah musim dingin empat bulan usai. Di sekeliling pohon mei hua itu ditempatkan stoples yang penuh dengan kertas doa dan pengharapan. Umat mengambil kertas yang tersedia di sekitar pohon, menulis harapan dan kata-kata positif, lalu memasukkannya ke dalam stoples.
Nuansa pengharapan juga begitu terasa di dalam wihara. Terdapat tiga rupang besar di dalam wihara, yakni Dewi Kwan Im yang merupakan simbol welas asih, Buddha Shakyamuni simbol kebijaksanaan, dan panglima perang Dewa Kwan Kong sebagai tanda kesetiaan. Umat mempersembahkan lilin-lilin di hadapan dewa-dewi itu. ”Di badan lilin itu ditempelkan kertas berisi pengharapan-pengharapan umat,” kata Marwin.
Hendra Wijaya (35), yang datang bersembahyang bersama istri dan dua anaknya, berharap di tahun baru ini perekonomian keluarga dan Indonesia semakin baik. ”Saya menulis harapan agar perekonomian tahun ini membawa kesejahteraan bagi keluarga dan bangsa ini,” katanya.
Agar perekonomian tahun ini membawa kesejahteraan bagi keluarga dan bangsa ini.
Persaudaraan
Nuansa persaudaraan terasa begitu hangat di Maha Wihara Maitreya karena wihara itu tidak hanya dikunjungi umat Buddha. Umat dari berbagai agama lain juga berkunjung ke wihara itu untuk berlibur, menjalin persaudaraan, dan menambah wawasan tentang Imlek.
”Kami ajak anak-anak ke sini untuk mengisi waktu liburan. Sekalian supaya anak-anak tahu suasana Imlek,” kata Jefri Santoso (40), warga Medan. Ia sibuk memotret istri dan anaknya yang berpose di depan Rupang Buddha Maitreya. Mereka lalu berpindah ke pohon mei hua tiruan lalu ke bawah deretan pohon lampion.
Tak hanya Jefri, banyak masyarakat lain yang datang ke wihara untuk berlibur. Ada yang asyik berswafoto, membaca shio, dan membaca sejumlah brosur dan papan informasi tentang perayaan Imlek. Masyarakat pun menyatu di wihara itu.