JAKARTA, KOMPAS – Keputusan Presiden Indonesia Ke-4 KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang memperbolehkan kelompok masyarakat Tionghoa merayakan kemerdekaan agama dan hak-hak budayanya secara terbuka, tak bisa dilihat hanya sebagai langkah awal transisi demokrasi setelah era Orde Baru. Keputusan itu menegaskan arah perjuangan Gus Dur dalam menolak diskriminasi di Indonesia.
Demokratisasi bagi Gus Dur harus dimulai dengan membebaskan sekat-sekat yang membelenggu kebebasan bangsa Indonesia dalam mengekspresikan keyakinannya, termasuk dalam merayakan budaya mereka. “Keputusan Gus Dur harus dilihat sesuai konteks saat itu bahwa demokratisasi memang harus dimulai dari sekat-sekat agama,” ujar Pengajar Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) sekaligus pemerhati budaya Tionghoa, Tonny Dian Effendy, saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (5/2/2019).
Keputusan Gus Dur harus dilihat sesuai konteks saat itu bahwa demokratisasi memang harus dimulai dari sekat-sekat agama
Menurutnya, kebijakan Gus Dur waktu itu menunjukkan orientasi politik pemerintahannya yang menjamin kemerdekaan dalam memeluk agama sekaligus merayakan budayanya. Langkah itu, kata Tonny, turut mencerminkan nilai-nilai kebinekaan Gus Dur.
“Gus Dur bukan sekadar memberikan wacana, tetapi, ia memberikan contoh nyata bahwa tidak masalah hidup dalam keberagaman dan perbedaan," katanya.
Sejak Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000, warga Tionghoa di Indonesia dapat merayakan Imlek secara terbuka. Hal yang tidak dapat mereka lakukan sejak Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 berlaku.
Adapun Inpres tersebut mengatur bahwa perayaan agama dan istiadat China, seperti Cap Go Meh, dan Imlek tidak diperbolehkan dilakukan di depan umum tetapi cukup dirayakan dalam lingkungan keluarga. Demikian juga tarian Barongsai dan Liong dilarang untuk dipertunjukkan di muka umum.
Menolak diskriminasi
Tonny menilai, pemikiran Gus Dur saat itu telah melintasi batas-batas keyakinan yang membebaskan masyarakat Tionghoa dari kungkungan dikriminasi selama hampir tiga dekade. "Gus Dur telah menjembatani kebinekaan dengan mewariskan nilai-nilai pluralisme bagi bangsa ini," pungkas Tonny.
Dalam buku Damai Bersama Gus Dur (Penerbit Buku Kompas, 2010), Gus Dur menyatakan bahwa keberagaman adalah karunia yang telah digariskan Tuhan. Ia percaya, perbedaan adalah rahmat bagi kemaslahatan bangsa, bukan memecahnya.
Nilai-nilai keberagaman itu pun terus dijaga oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dalam menentukan corak perjuangan partai yang didirikan oleh Gus Dur pada 23 Juli 1998.
Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, pekan lalu, menyatakan, nilai-nilai keberagaman dan politik kebangsaan yang diwariskan oleh Gus Dur akan terus menjadi warna perjuangan PKB dalam menghadapi Pemilihan Umum 2019.
"Kita akan tetap berpegang teguh kepada Pancasila dan kembali ke jalan kebinekaan," ujar Cak Imin di hadapan puluhan warga Tionghoa di Serpong, Kota Tangerang Selatan, pada perayaan refleksi Imlek sekaligus mengenang jasa-jasa Gus Dur.
Muhaimin menilai, bila belakangan ini seakan-akan ada kemunduran di dalam kebinekaan, hal itu bukanlah wujud Indonesia yang sesungguhnya. Itu merupakan kondisi sesaat akibat masifnya perkembangan media sosial ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Sementara bagi Tonny, kemunculan riak-riak intoleransi di Indonesia terjadi karena kurangnya dialog lintas masyarakat. “Dengan mengedepankan dialog, kita akan lebih memahami perbedaan sekaligus menutup ruang intoleransi di Indonesia,”pungkas Tonny. (DIONISIO DAMARA)