Musisi Pertanyakan Urgensi RUU Permusikan
JAKARTA, KOMPAS — Lebih dari 200 pemusik dan pekerja di bidang musik ramai mempertanyakan Rancangan Undang-Undang Permusikan yang telah menjadi prioritas Program Legislasi Nasional DPR pada tahun 2019. Rancangan peraturan itu dianggap tergesa-gesa dan mencederai kreativitas pekerja musik.
”Kami tidak melihat urgensinya. Apa permasalahan yang menggebu-gebu? Dari naskah akademik dan pasal-pasal di RUU tidak menunjukkan hal itu,” kata Rara Sekar, penyanyi dan penulis lagu, dalam jumpa pers seusai acara diskusi Bedah Tuntas RUU Permusikan di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan, Senin (4/2/2019).
Diskusi itu dikerjakan bersama antara Koalisi Seni Indonesia (KSI) dan Konferensi Musik Indonesia (KAMI).
Lebih jauh lagi, Rara beranggapan naskah akademik yang menjadi dasar penyusunan RUU itu ada yang bersumber dari blog pribadi. ”Saya menyayangkan mengapa DPR bisa meloloskan naskah akademik seperti ini. Akhirnya hanya menghabiskan energi untuk membahas hal prematur yang sebenarnya tidak layak dibahas secara akademik. Tidak layak juga dibahas oleh para musisi yang sebenarnya cerdas dan memiliki pengalaman sangat luas, serta dekat dengan komunitasnya sendiri,” ujar mantan vokalis grup Banda Neira ini.
Rara adalah satu dari 262 pemusik dan pekerja musik yang bergabung dalam Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan. Pada Minggu (3/2/2019) malam, koalisi itu menyatakan sikapnya dengan tegas untuk menolak RUU Permusikan gagasan Komisi X DPR.
Selain Rara, pemusik yang bergabung dalam koalisi itu antara lain Jason Ranti, Reda Gaudiamo, Bonita, Arian 13 (band Seringai), Eben (Burgerkill), Nikita Dompas (Tomorrow People Ensemble), Iga Massardi (Barasuara), dan Cholil Mahmud (Efek Rumah Kaca).
Kemudian, Gede Robi Supriyanto (Navicula), Rico Prayitno (Mocca), Viki Vikranta (Kelompok Penerbang Roket), Mondo Gascaro, Iksan Skuter, dan Danilla Riyadi.
Para pekerja musik yang juga bergabung di koalisi itu antara lain Wendi Putranto (manajer band Seringai), Jason Ranti (penyanyi, pencipta lagu), Sukma Raya (produser, penata rekam), Felix Dass (pegiat pertunjukan musik), Samack (pegiat komunitas musik di Malang), Iit Sukmiati (pengecer produk musik di Bandung), Petrus Biyanto Adi (pengajar musik), Yuka D Narendra (penulis buku, akademisi), dan David Tarigan (arsiparis musik).
Secara umum, mereka melihat bahwa RUU Permusikan memuat pasal yang tumpang tindih dengan beberapa UU yang ada, seperti UU Hak Cipta, UU Serah-Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, serta UU ITE.
”Kalau musisinya ingin sejahtera, sebetulnya sudah ada UU Perlindungan Hak Cipta, dan lain sebagainya dari badan yang lebih mampu melindungi itu. Jadi, untuk apa lagi permusikan dibuatkan undang-undang,” kata Danilla Riyadi.
Danilla, atas nama koalisi, menginisiasi petisi daring penolakan RUU Permusikan yang hingga Senin malam telah ditandatangani lebih dari 140.000 orang.
Penyanyi Marcell Siahaan juga berpendapat serupa. Bagi pelantun lagu ”Semusim” ini, tidak ada urgensinya membuat undang-undang baru. Undang-undang yang sudah ada, seperti UU Hak Cipta dan UU Pemajuan Kebudayaan, yang juga menyinggung permusikan, perlu diperkuat pelaksanaannya.
”Ibaratnya, kita sudah punya lahan parkir besar dan ada mobil yang parkir di situ tetapi berantakan, semrawut. Maka, yang diperlukan adalah menata perparkirannya, bukan membuka lahan parkir baru. Itu sama saja menambah masalah baru. Tidak ada urgensinya membuat undang-undang baru,” kata Marcell.
Marcell menambahkan, undang-undang baru bisa dibuat jika ada sesuatu hal yang perlu diubah dari undang-undang yang sudah ada.
Menurut dia, peraturan pemerintah atau peraturan menteri juga bisa menjadi solusi bagi penerapan undang-undang yang sudah ada. ”Tetapi, ya itu tadi, perlu dibuat naskah dan kajian yang benar,” kata sarjana hukum dari Universitas Katholik Parahyangan, Bandung, ini.
Pasal bermasalah
Gonjang-ganjing RUU Permusikan ini bersumber dari beredarnya rancangan tertanggal 15 Agustus 2018 kepada khalayak. Menurut lembaga Koalisi Seni Indonesia, versi itu kini ada di peringkat 48 daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR. Sejumlah pasal di dalamnya memicu reaksi keras para pekerja musik.
Pasal 5 adalah salah satu yang paling disoroti. Pasal itu berisi larangan bagi setiap orang dalam berkreasi untuk: (a) mendorong khalayak melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat aditif lainnya; (b) memuat konten pornografi, kekerasan seksual, dan ekspoitasi anak; (c) memprovokasi pertentangan antarkelompok, antarsuku, antarras, dan/atau antargolongan; (d) menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai agama; (e) mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; (f) membawa pengaruh negatif budaya asing; dan/atau (g) merendahkan harkat dan martabat manusia.
Pasal itu dianggap mengekang kebebasan berekspresi. Terlebih lagi, Pasal 50 menyebutkan, pelanggaran Pasal 5 akan dikenakan sanksi pidana penjara atau denda.
”Kalau jadi diundang-undangkan, band Seringai mungkin akan jadi band pertama karena cukup vokal di liriknya. Jadi, jangan sampai ini berlanjut,” kata Wendi Putranto, manajer Seringai.
Pasal 5 itu juga berpotensi menjadi ”pasal karet” karena memuat kata-kata yang multiinterpretasi, seperti ”menista”, ”melecehkan”, ”menodai”, dan ”memprovokasi”. Seperti yang sudah-sudah, ”pasal karet” semacam itu bisa jadi senjata bagi kelompok penguasa atau siapa pun untuk mempersekusi proses kreasi yang tidak disukai.
Pasal 5 itu juga berpotensi menjadi ’pasal karet’.
Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan menemukan 19 pasal yang dianggap bermasalah. ”Kami membedah pasal per pasal. Ternyata di bagian penjelasan, pasal-pasal itu lemah semua. Temuan itu kami serahkan ke Komisi X DPR sebagai daftar inventaris masalah untuk dikaji ulang,” kata Wendi.
Pasal 4, misalnya, menyebutkan pelaku musik adalah penulis lagu, penyanyi, penata musik, dan produser. Koalisi itu menganggap, penyebutan empat ”pelaku musik” itu hanya mewakili industri musik yang mapan dan tidak selalu terjadi di kancah musik independen.
”Referensi pembuatan RUU ini tidak paham dengan gerakan dan napas kelompok pemusik bawah tanah,” kata penyanyi, gitaris, dan penulis lagu Endah Widiastuti. Di kancah pemusik independen yang umumnya mengusung etos efisiensi kerja kreatif, keempat peran itu bisa dikerjakan sekaligus oleh kurang dari empat orang.
Perlu dikawal
Anang Hermansyah, anggota Komisi X DPR, yang hadir di acara diskusi itu, berusaha tenang menanggapi berbagai sanggahan dan penolakan tersebut. ”Kami butuh banyak masukan. Sekarang ini masih berbentuk draf dan prosesnya masih panjang,” katanya.
Anang menyangkal bukan dialah yang merumuskan kalimat-kalimat di RUU tersebut, melainkan Pusat Perancangan Undang-undang Badan Keahlian DPR RI yang dikepalai Inosentius Samsul. Samsul menyatakan, penyusunan naskah akademik berdasarkan permintaan, bisa dari fraksi, komisi, ataupun individu.
”Kami tak pernah berpikir apa yang kami buat itu sempurna. Naskah akademik ini bukan suatu kebenaran. Silakan, kami membuka diri untuk berdiskusi dan perbaiki terus naskah ini. Proses (sebelum ditetapkan) masih panjang,” kata Samsul yang meninggalkan tempat sebelum acara selesai.
Penyanyi Glenn Fredly dari Konferensi Musik Indonesia menyatakan tekadnya untuk mengawal penggodokan RUU itu.
”Ini akan kami kawal bersama. Jangan lagi ada (musisi) yang merasa ditinggal. Jangan lagi ada yang merasa ini pertarungan antara musisi indie dan major. Kita punya problem yang sama, kok. Momen ini harus dipakai untuk bicarakan nasib dan masa depan musisi bahwa ada sebuah profesi yang harus dibicarkan secara serius,” kata Glenn.
Sementara itu, Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan mengkhawatirkan masa kerja anggota DPR periode 2014-2019 yang hanya tinggal sekitar sembilan bulan. ”Kalau aspirasi kami tidak didengar (legislatif), sampai jumpa tanggal 9 Maret. Kami akan bikin aksi penolakan RUU Permusikan yang melibatkan puluhan ribu musisi, mungkin di Lapangan Monas, atau depan Istana Merdeka, atau di Gedung DPR bikin (seperti festival) Woodstock,” kata Wendi.