Prosedur Ekspor Sawit Dipermudah
JAKARTA, KOMPAS - Ekspor minyak sawit dan produk turunannya masih diandalkan untuk memperbaiki defisit neraca perdagangan. Untuk memacu daya saing, kelompok komoditas ini tidak wajib menyertakan laporan survei (LS).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS), Selasa (5/2/2019), defisit neraca perdagangan Indonesia pada kurun Januari-Desember 2018 mencapai 8,57 miliar dollar AS. Defisit neraca perdagangan yang semakin dalam mendorong defisit transaksi berjalan ke level di atas 3 persen produk domestik bruto (PDB).
Permintaan dari negara-negara utama pengimpor CPO juga turun. BPS mencatat, pada Januari-Desember 2018, nilai ekspor CPO yang termasuk dalam kode HS 15 golongan lemak dan minyak hewan atau nabati mencapai 20,35 miliar dollar AS. Nilai ekspor itu turun 11,39 persen dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017, yakni 22,96 miliar dollar AS.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, dari empat baru dua kelompok komoditas yang tidak wajib menyertakan laporan penyurvei, yaitu minyak sawit mentah dan produk turunannya, serta gas yang diekspor melalui pipa. Adapun kelompok komoditas rotan setengah jadi dan kayu log dari tanamam industri masih dalam kajian.
"Kita sedang mempelajari, tapi arahnya cuma dua, yang dua lagi akan dikaji. Kalau dikaji belum tentu akan dilaksanakan," kata Darmin di Jakarta, Senin (4/2/2019).
Penghapusan kewajiban menyertakan laporan survei bagi kedua kelompok komoditas tersebut berlaku pada Februari 2019. Sementara itu, revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 54 tahun 2015 tentang laporan surveyor kelapa sawit, minyak sawit (CPO), dan produk turunannya, kini memasuki tahap finalisasi.
Kelompok komoditas yang tidak wajib menyertakan laporan penyurvei dipilih secara selektif dengan mempertimbangkan, yaitu tidak disyaratkan oleh pembeli atau negara tujuan ekspor, tidak melanggar ketentuan atau perjanjian internasional, dan telah dilakukan pemeriksaan fisik serta laboratorium oleh Bea Cukai.
Pemerintah berupaya menyederhanakan prosedur ekspor untuk memacu daya saing. Langkah penyederhanaan prosedur ekspor yang akan ditempuh, yakni dengan mengurangi komoditas yang wajib menyertakan laporan penyurvei dan masuk daftar larangan terbatas. Kebijakan ini dinilai akan mengurangi biaya dan waktu sehingga produk ekspor bisa lebih kompetitif.
Oleh karena itu, peraturan tentang laporan penyurvei akan direvisi, yakni hanya untuk komoditas yang diminta negara tujuan ekspor. Daftar larangan terbatas juga dikaji ulang karena beberapa ekspor unggulan dinilai terhambat. Dari 10.826 komoditas yang masuk daftar larangan terbatas, 827 komoditas di antaranya memiliki nilai ekspor 49,2 persen dari total ekspor nasional.
Darmin mengatakan, produk-produk turunan kelapa sawit akan terus dikembangkan sehingga ekspor tak hanya minyak mentah. Saat ini Indonesia memiliki ratusan produk turunan kelapa sawit dan hanya sekitar seperempatnya yang diekspor dalam bentuk CPO. Ekspor CPO dibatasi dengan penggunaan untuk biodiesel 20 persen (B20).
Penyederhanaan prosedur ekspor diharapkan bisa memperbaiki neraca dagang pada triwulan I-2019. Sebelumnya, pemerintah mengumumkan lima kebijakan peningkatan daya saing ekspor, yakni perbaikan iklim usaha melalui sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission/OSS), fasilitas insentif perpajakan, program vokasi, penyederhanaan prosedur ekspor, dan pemilihan komoditas unggulan.
Potensi sawit
Ketua Satgas Kelapa Sawit, The International Union for Conservation of Nature (IUCN), Erik Meijaard mengatakan, permintaan global terhadap produk turunan sawit, utamanya minyak nabati semakin besar. Pada 2050, permintaan minyak nabati bisa mencapai 310 megaton, sementara produksi global kini hanya 165 megaton. CPO paling produktif untuk memenuhi permintaan pasar global.
Dari hasil penelitiannya, CPO menjadi produk perkebunan yang paling produktif menghasilkan minyak nabati. Setiap 1 ton minyak nabati memerlukan lahan tanam CPO seluas 0,26 hektar. Sedangkan, setiap satu 1 ton minyak nabati perlu lahan tanam minyak bunga matahari 1,43 hektar dan minyak kacang kedelai 2 hektar.
Penurunan ekspor terjadi tak hanya karena harga CPO yang rendah. Penurunan juga terjadi karena hambatan perdagangan, baik tarif maupun nontarif di sejumlah negara, seperti negara-negara di kawasan Uni Eropa, India, dan Pakistan. Hambatan perdagangan itu akibat Indonesia kalah cepat menjalin kerjasama, dan adanya kampanye hitam.
Erik berpendapat, kajian tentang CPO mesti dilihat secara komprehensif. Selain lingkungan, aspek sosial, budaya, ekonomi, dan keadilan mesti diperhatikan. Industri kelapa sawit bisa membantu tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan, seperti pengurangan kemiskinan, kelaparan, dan kesenjangan.
"Deforestasi global akibat minyak sawit tidak sampai 1 persen. Namun, kebanyakan orang menduga minyak sawit sebagai penyebab utama deforestasi," kata Erik.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menambahkan, selama ini CPO sering dikaitkan dengan kampanye negatif terkait deforestasi dan kebakaran hutan. Penelitian yang berimbang sangat diperlukan agar referensi masyarakat semakin bertambah.
Terkait energi terbarukan, Direktur Eksekutif Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), Mahendra Siregar mengatakan, salah satu alasan Uni Eropa menunda perubahan arahan energi terbarukan terkait penggunaan CPO. Belum ada metodologi yang bisa menunjukkan CPO berisiko tinggi atau rendah. Keputusan menolak sawit masih sarat unsur politik di negara-negara Uni Eropa.