JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Kota Jakarta Selatan mengingatkan bagi setiap kelurahan yang memiliki kasus demam berdarah dengue tertinggi di wilayahnya. Peringatan ini diharapkan bisa meningkatkan kesadaran dan partisipasi warga untuk mencegah penularan deman berdarah dengue.
Kepala Subbagian Tata Usaha Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan Nuril Astuti saat dihubungi di Jakarta, Selasa (5/2/2019), menyampaikan, berbagai upaya dilakukan untuk mencegah peningkatan jumlah kasus demam berdarah di Jakarta Selatan. Kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan agar upaya pencegahan dan pengendalian penyakit ini bisa semakin masif.
”Kami akan berikan peringatan lewat spanduk bertuliskan ’Daerah ini Rawan DBD’ di satu kelurahan dari tiap kecamatan yang kasus DBDnya paling tinggi. Harapanya spanduk ini bisa menyadarkan masyarakat kalau daerahnya butuh upaya pencegahan yang lebih dari penularan DBD,” katanya.
Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat, kasus DBD sejak tanggal 1 Januari hingga 31 Januari 2019 telah mencapai 813 kasus. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan sepanjang Januari 2018 yang hanya 198 kasus. Berdasarkan hitungan dari 1 Januari-4 Februari 2019, kasus DBD terbanyak ditemukan di Jakarta Selatan, yakni 297 kasus. Sementara di Jakarta Timur 248 kasus, Jakarta Barat ada 233 kasus, Jakarta Utara ada 57 kasus, dan Jakarta Pusat sebanyak 43 kasus.
Menurut Nuril, karakter wilayah Jakarta Selatan yang memiliki kelembapan tinggi menyebabkan rentan muncul sarang nyamuk. Untuk itu butuh upaya lebih dalam pencegahan dan pengendalian DBD. Saat ini, wilayah Jakarta Selatan sudah menerapkan pengasapan atau fogging serentak di semua kecamatan, terutama di keluarahan yang kasusnya tertinggi, seperti di Kelurahan Jagakarsa, Lenteng Agung, dan Kebayoran Lama Selatan. Pengasapan ini dilakukan setiap hari.
Kunjungan penyuluhan ke sekolah-sekolah juga dilakukan. Kader jumantik di beberapa sekolah juga telah dibentuk untuk mengampanyekan kepedulian terhadap kebersihan lingkungan. Kader ini juga bertugas untuk menyosialisasikan langkah-langkah yang tepat dalam mencegah dan memerangi berkembangnya nyamuk demam berdarah.
Selain itu, kegiatan jumantik mandiri juga semakin digencarkan. Kegiatan ini bisa dilakukan dengan pemberantasan sarang nyamuk di setiap rumah. Warga harus aktif mengecek rumahnya sendiri sehingga tidak hanya mengandalkan tim jumantik dari kelurahan. Setidaknya, warga bisa melakukan gerakan 3M atau menguras, menutup, dan mengubur.
”Namun, masalahnya adalah pada tempat-tempat umum, seperti lapangan bola, taman, dan tempat pemakaman umum. Di pemakaman umum, misalnya, banyak pot bekas bunga yang menampung air. Itu bisa jadi tempat nyamuk bertelur. Untuk itu, semua harus bekerja bersama,” ujar Nuril.
Dilla (35), warga RT 005 RW 008 Kelurahan Cilandak Barat, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan, mengatakan, pengasapan belum dilakukan di wilayahnya, tetapi petugas jumantik rutin datang ke rumahnya untuk mengecek jentik-jentik nyamuk. Bubuk abate juga diberikan secara rutin.
”Saya juga diminta membuang kaleng-kaleng atau benda lain yang bisa menampung air. Diingatkan juga tidak boleh menggantung baju dan harus rajin menguras bak mandi,” ujarnya.
Penanganan pasien
Konsultan penyakit tropis dan infeksi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Erni Juwita Nelwan, mengimbau masyarakat lebih waspada pada gejala DBD yang muncul. Penanganan dini diperlukan untuk menghindari dampak terburuk seperti kematian.
”Mayoritas pasien DBD yang meninggal karena penanganannya terlambat. Pembuluh darah di dalam tubuhnya telanjur bocor sehingga penyaluran darah ke organ penting seperti otak atau jantung terganggu,” katanya.
Ia mengatakan, seseorang harus waspada ketika muncul demam tinggi secara mendadak. Kondisi ini adalah gejala umum seseorang terkena virus DBD. Biasanya, demam ini juga disertai dengan pusing, lemas, ataupun lemas dan mual. Jika sudah mumcul gejala seperti ini, seseorang perlu segera memeriksakan diri ke dokter.
Menurut dia, ada tiga masuknya virus DBD ke dalam tubuh seseorang, yakni fase demam (3-4 hari), fase kritis (3 hari), dan fase pemulihan. Masyarakat perlu waspada saat fase kritis karena demam biasanya sudah menurun dan kadar virus dalam tubuh juga menjadi sedikit. ”Namun, saat fase kritis ini virus sudah merusak jaringan pembuluh darah tubuh. Untuk itu, seharusnya saat awal gejala harus segera periksa,” ujar Erni.