Tak Ada Pertunjukan Barongsai, tetapi Pertunjukan Kebersamaan
Oleh
Andy Riza Hidayat
·3 menit baca
Tidak ada hiasan yang meriah saat memasuki Kelurahan Pekojan, Tambora, Jakarta Barat, saat malam tahun baru Imlek 2019, Senin (5/2/2019). Padahal, kelurahan ini, terutama di Rukun Warga 006 mayoritas dihuni warga keturunan Tionghoa yang merayakan peralihan dari tahun Anjing Tanah menjadi Babi Tanah.
Saat memasuki Jalan Pekojan 1, Imlek hanya ditandai dengan spanduk calon anggota legislatif yang mengucapkan selamat bagi yang merayakan. Ditambah aroma hio atau dupa khusus yang dibakar di depan rumah warga. Tak ada lampion atau hiasan-hiasan merah yang umumnya menghiasi kawasan perkampungan orang China tatkala Imlek tiba.
Memasuki Rukun Tetangga 015, hanya ada satu gantungan hiasan lampion kecil berwarna merah. Hiasan ini dipasang di atas gapura masuk ke Pekojan II Gang 1.
Selain hiasan Imlek, perayaan kembang api tak tampak di wilayah yang banyak dihuni etnis Tionghoa dan Arab ini. Tidak hanya di perumahan warga, di wihara pun tidak nampak kemeriahan Imlek itu. ”Tidak ada acara kembang api juga barongsai. Di sini warga hanya datang sembahyang sampai pukul 00.00,” kata pengurus Wihara Thiang Ho Kiong Ma Tjo Po Pekojan, Sunardi (49).
Kemeriahan Imlek memang tak dibanggakan wilayah berpenghuni 27.506 orang ini, tetapi mereka memberikan pertunjukan kerukunan dan keharmonisan beragama pada malam Imlek ini. Di wihara misalnya.
Saat warga beragama Buddha sembahyang, warga beragama lain menjaga parkir dan membantu para orang tua turun dari mobil menuju ke lokasi ibadah. Selain itu, di sekitar wihara warga juga duduk sambil menunggu pukul 00.00 tiba. Mereka menonton ataupun bercerita bersama, cerita mengenai zaman dulu bagaimana perayaan Imlek dulu dan sekarang.
Beberapa tahun sebelumnya, di wilayah ini warga Tionghoa masih sering memanggil para pembuat pertunjukan barongsai. Namun, itu perlu biaya yang besar, Rp 5 juta hingga Rp 10 juta untuk sekali pertunjukan. Biaya ini yang membuat warga tidak bisa mengundang pertunjukan barongsai di sekitar rumahnya.
Namun, itu tidak menyurutkan semangat merayakan Imlek. Mereka tetap semangat bercerita perjuangan mereka menghadapi zaman di Indonesia. ”Sebelum masa Presiden Gus Dur, Imlek itu tidak dianggap, tidak ada tanggal merah. Setelah Gus Dur jadi presiden, kita baru merasakan betul merdeka,” cerita salah satu warga Pekojan, Chen Kweet Sen (56).
Chen juga bercerita bahwa keturunan Tionghoa di Jakarta yang seumuran dengannya tidak tahu menggunakan bahasa Mandarin, bahasa ibu baginya. Pasalnya, sebelum Gus Dur menjabat, mereka dilarang menggunakannya. Harus menggunakan bahasa Indonesia.
Chen menceritakan pengalaman itu di hadapan empat warga lain, ada yang keturunan Tionghoa ataupun non-Tionghoa. Ada yang beragama Buddha, Kristen, juga Islam. Mereka saling memberi tanggapan pengalaman di zaman Gus Dur yang bagi mereka pantas dikenang. Kadang cerita itu membuat mereka tertawa, menaikkan suara karena berbeda pendapat, atau bahkan saling ledek. Namun, mereka tetap duduk bersama menunggu pukul 00.00 tiba.
”Walaupun muka sama, agama kami beda. Namun, di sini kami hidup sama-sama. Sudah turun temurun di sini, sudah seperti saudara,” kata Ketua RT 015 Pekojan Dihan.
Tidak hanya perkumpulan Chen, perkumpulan lain tampak di depan Masjid Jami Kampung Baru Inpak yang jaraknya sekitar 100 meter dari Wihara Thiang Ho Kiong Ma Tjo Po Pekojan. Ada pula di depan warung dan perumahan warga.
Tidak hanya warga sekitar, kerukunan ini turut dirasakan para penjaga keamanan yang juga berada di lokasi. Mereka berasal dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, dan Satuan Polisi Pamong Praja.
”Kita tetap lakukan penjagaan walaupun terlihat aman. Untuk pengamanan malam Imlek ini, kepolisian menurunkan 5.000 personel,” kata Kepala Unit Reserse Kriminal Kepolisian Sektor Tambora Ajun Komisaris Supriyatin, Senin (4/2/2019), di depan Wihara Thiang Ho Kiong Ma Tjo Po Pekojan. (SITA NURAZMI MAKHRUFAH)