Air Baku Buruk Bebani Produksi
JAKARTA, KOMPAS – Buruknya air baku di Saluran Tarum Barat atau Kali Malang, membebani biaya produksi pengolahan menjadi air layak konsumsi bagi warga DKI Jakarta. Dua mitra swasta Perusahaan Air Minum Jaya (PAM Jaya), yakni PT Aetra dan PT Palyja mengakui, rendahnya kualitas air baku mengganggu produksi. Sebabm proses pengolahan air baku akan berlangsung lebih lama dan membebani biaya produksi.
Selain itu, buruknya air baku juga menimbulkan keresahan karena dikhawatirkan kualitas air bersih yang dikelola PAM Jaya itu pun buruk. Keresahan itu di antaranya diungkapkan Sumiharja (60), warga Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, pada akhir Desember lalu. Ia menduga penggunaan air baku yang buruk juga menghasilkan air bersih yang berkualitas rendah.
“Yah sebaiknya jangan pakai air kotor. Kita kan tahu sungai di Jakarta tidak ada yang bersih. Kami sih inginnya pakai air yang lebih baik,” tutur pensiunan imigrasi ini.
Apalagi selama ini Sumiharja dan keluarganya sangat mengandalkan air perpipaan Perusahaan Air Minum Jaya (PAM Jaya) untuk minum dan memasak karena air tanah di rumahnya terasa asin akibat intrusi air laut yang terjadi di kawasan Jakarta Utara sejak puluhan tahun lalu.
Sementara hingga kini, kualitas air baku yang digunakan PAM Jaya sebagai penyedia layanan air bersih Ibu Kota, ini masih sangat buruk.
Bahkan pada 2005, saat suplai air perpipaan Perusahaan Air Minum Jaya (PAM Jaya) masih belum lancar, Sumiharja tetap mempertahankannya supaya tetap bisa memperoleh air bersih yang layak dikonsumsi dengan warna yang jernih dan berasa tawar.
“Tahun 2005, pernah setengah tahun air PAM di rumah saya nggak ngalir. Saya tetap bayar abodemen biar tidak diputus (jaringannya),” tuturnya.
Sementara hingga kini, kualitas air baku yang digunakan PAM Jaya sebagai penyedia layanan air bersih Ibu Kota, ini masih buruk.
Berdasarkan pengujian Dinas Lingkungan Hidup DKI, air baku dari Waduk Jatiluhur yang dialirkan melalui Saluran Tarum Barat atau Kali Malang itu dari tahun ke tahun alami pencemaran bakteri koli tinja atau escherecia coli (e-coli).
Selama 2011-2017, hasil pengujian sampel air Kali Malang oleh Dinas LH DKI, menunjukkan kadar koli tinja paling rendah 5.750 jml/100ml hingga hampir 400.000 jml/100 ml. Pada 2018, sampel yang diuji pernah menunjukkan konsentrasi koli tinja hingga 1 juta jml/100 militer air. Seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang kualitas air, kadar koli tinja pada air baku untuk minum harus kurang dari 100 jml/100 ml
Baca juga : Air Baku Tarum Barat Kian Tercemar
Kompas kemudian mencoba mengambil sampel air perpipaan di kawasan Jakarta Utara dan diuji kualitasnya di laboratorium, sekaligus untuk menjawab kekhawatiran Sumiharja.
Sampel diambil di kawasan permukiman padat penduduk di Cilincing, yang berada di ujung timur Jakarta Utara. Air perpipaan di kawasan itu disuplai PT Aetra. Satu sampel lagi diambil di ujung barat Jakarta Utara, yakni air perpipaan di Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Tanah Merah atau Rusunawa Penjaringan, Jakarta Utara, yang disuplai PT Palyja. Baik PT Aetra maupun PT Palyja merupakan mitra swasta PAM Jaya.
Pengambilan sampel sengaja dilakukan di utara Jakarta untuk mengetahui kualitas air yang berada di jaringan perpipaan yang berada paling ujung. Apalagi PT Aetra dan PT Palyja mengklaim bahwa kebocoran air perpipaan masih berkisar 40 persen dari total produksi mereka 500 juta meter kubik lebih. Dikhawatirkan kebocoran itu turut mencemari air perpipaan yang sampai di rumah warga di ujung Jakarta Utara.
Sampel air di Cilincing diambil di rumah Noin Ependi (69) yang berada di Jalan Belah Kapal. Sampel kedua diambil di unit Rusunawa Tanah Merah, Penjaringan, yang ditempati Awan (51).
Pengambilan sampel dilaksanakan oleh tenaga laboratorium PT ALS Indonesia. Sampel air kemudian diuji kandungannya, terkait 20 jenis kimia dan logam berat, serta koli tinja. Pengujian dilaksanakan di laboratorium PT ALS Indonesia, Sentul, Jawa Barat.
Setelah melalui pengujian yang berlangsung 2 minggu, diperoleh hasil bahwa kandungan kimia dan logam berat di kedua sampel itu tak ada yang melampaui baku mutu dari parameter yang diterapkan Permenkes Nomor 32 Tahun 2017 tentang standar baku mutu kesehatan lingkungan dan persyaratan kesehatan air untuk keperluan higiene sanitasi. Jenis kimia dan logam berat yang diuji di antaranya sulphate, merkuri, hingga arsenik.
Sementara kandungan koli tinja di kedua sampel itu juga dapat dikatakan nihil. Namun hasil laboratorium menyebutkannya kurang dari 1, standar yang diterapkan laboratorium sesuai Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 6 Tahun 2009 tentang laboratorium lingkungan.
Dalam peraturan itu diatur bahwa hasil pengujian tidak diperkenankan mencantumkan hasil tidak terdeteksi, melainkan dilaporkan sebagai kurang dari nilai limit deteksi metode.
Bebani Produksi
Meskipun terbukti dapat menghasilkan air bersih, tetapi rendahnya kualitas air baku diakui pihak PT Aetra dan PT Palyja itu cukup mengganggu produksi. Sebab, proses pengolahan air baku akan berlangsung lebih lama dan juga membebani biaya produksi.
Bahkan air dari Kanal Barat, Kali Krukut, dan Cengkareng Drain, yang digunakan PT Palyja sebagai air baku, itu kondisinya lebih buruk dari Kalimalang. Air baku itu harus melalui dua kali proses pengolahan.
Manajer Instalasi Pengolahan Air PT Aetra, Destriaji Herjun Permadi meyampaikan, buruknya kualitas air baku sangat berpengaruh terhadap proses produksi. Sebelum 2015, menurutnya, proses pengolahan air pernah terbebani oleh kekeruhan air baku yang sangat tinggi akibat aliran Kali Malang masih bercampur dengan Kali Bekasi.
Pada masa itu tingkat kekeruhannya mencapai 12.000 nephelometric turbidity unit (NTU) hingga 20.000 NTU. Dampaknya, kapasitas produksi harus dikurangi 10-20 persen karena pengolahan harus dilakukan lebih lama.
Setelah aliran Kali Malang dipisahkan dari Kali Bekas pada 2015, kekeruhan air pun menurun menjadi rata-rata 200 NTU. Pengolahan air bisa lebih maksimal dan penggunaan bahan kimia juga bisa ditekan. Selain itu, PT Aetra juga melakukan efisiensi dalam penggunaan koagulan, bahan kimia untuk mengikat partikel dalam proses penjernihan air, dengan menerapkan biofiltrasi untuk mengikat polutan seperti amonia, mangan (Mn), dan besi (Fe).
Saat aliran Kali Malang masih bercampur dengan aliran Kali Bekasi yang buruk kualitasnya, biaya produksi untuk mengolah air baku pun terbebani. Berdasarkan data Annual Report PT Aetra, pencemaran dari Kali Bekasi itu menyebabkan biaya produksi naik hampir 10 persen pada 2015. Pada 2014 biaya produksi sebesar Rp 622 permeter kubik air, kemudian pada 2015 naik menjadi Rp 680 permeter kubik.
Baca juga : Kali Malang Terjerat Limbah Domestik
Setelah aliran Kali Malang dipisahkan dari Kali Bekasi, biaya produksi baru dapat ditekan. Dengan rincian, pada 2016 sebesar Rp 635 permeter kubik, dan pada 2017 menjadi Rp 628 permeter kubik. Biaya produksi itu meliputi biaya pembelian air baku, listrik, dan bahan kimia.
Corporate Customer Communication Manager PT Aetra, Astriena Veracia, mengonfirmasi, biaya produksi menempati 30 persen dari total beban langsung pengolahan air bersih. Komponen lainnya sebesar 70 persen di antaranya berupa biaya konstruksi, perbaikan dan pemeliharaan, termasuk gaji karyawan.
Sementara terkait koli tinja, Destriaji mengatakan, konsentrasinya pada air baku selalu melampaui ambang batas yang ditetapkan. Namun, menurutnya, pihaknya dapat mengatasi itu, meskipun teknologi pengolahan air yang dilakukan PT Aetra juga masih konvensional, belum menggunakan ultra violet.
“E-coli (koli tinja) dalam air baku memang melebihi ambang batas. Untuk membasmi e-coli, kami melakukan proses disinfektan, dengan penambahan zat klorin yang fungsinya membunuh bakteri, virus, dan protozoa,” jelasnya.
Lain halnya dengan PT Palyja yang mengalami kenaikan biaya produksi dari tahun ke tahun. Kenaikan biaya itu salah satunya karena PT Palyja hanya memperoleh separuh dari total pasokan air baku yang diterima PT Aetra, yakni kurang dari 200 juta meter kubik dalam setahun.
Akibatnya PT Palyja harus menambah pasokan air curah atau air bersih dari PDAM Tangerang yang dibeli seharga Rp 3.000 permeter kubik. Setiap tahun PT Palyja menyerap 88 juta meter kubik.
Untuk menambah produksi, sejak 2015 PT Palyja juga menggunakan air dari Kali Krukut, Kanal Barat, dan Cengkareng Drain. Kualitasnya lebih kotor dan keruh dari air Kali Malang. Dampaknya, proses produksi bertambah panjang karena air terlampau kotor. Air dari sungai dan saluran ini harus dilakukan pengolahan awal, baru kemudian dapat diolah bersama air baku dari Kali Malang untuk diolah menjadi air bersih.
Seperti pada 2016, dikutip dari Annual Report PT Palyja 2016, dari total produksi sebanyak 282 juta meter kubik, sekitar 5,7 persen merupakan konstribusi dari air Kali Krukut, Kanal Barat, dan Cengkareng Drain.
Operation and Technical Director PT Palyja, Wilmart Siburian menyampaikan, pengolahan awal untuk air baku dari ketiga sungai dan saluran itu dilakukan dengan cara moving bed biofilm reactor (MBBR) dan biofiltrasi. Kedua metode itu dilakukan dengan menggunakan bakteri yang ada pada air untuk mengikat polutan kimia.
"Setelah melalui pengolahan air tahap selanjutnya, baru diperoleh air bersih yang memenuhi standar Kementerian Kesehatan," jelas Wilmart.
Berdasarkan annual report PT Palyja, diperoleh data bahwa beban langsung yang ditanggung perusahaan itu untuk membiayai produksi, naik dari tahun ke tahun. Beban langsung untuk memproduksi air pada 2014 sebesar Rp 2.296 permeter kubik, Rp 2.332 permeter kubik pada 2015, dan Rp 2.394 permeter kubik pada 2016. Namun saat dikonfirmasi terkait kenaikan biaya ini, PT Palyja enggan memberikan komentar.
Peningkatan biaya itu selain disebabkan oleh proses pengolahan yang lebih panjang, tetapi juga karena dibebani biaya untuk membeli air curah Rp 3.000 per meter kubik. Sementara harga air baku Kali Malang sekitar Rp 250 permeter kubik.
PH rendah
Meskipun terbukti bersih dan layak digunakan untuk konsumsi, namun ditemukan PH pada dua sampel air perpipaan yang diuji Kompas, tak memenuhi baku mut PH seimbang yang ditetapkan Permenkes Nomor 32 Tahun 2017, yakni di antara 6,5 sampai 8,5. Kadar PH pada sampel air di Rusunawa Penjaringan menunjukkan 6, sementara kadar PH sampel air di Cilincing 6,2.
Menanggapi kadar PH yang rendah itu, baik PT Aetra maupun PT Palyja menyatakan bahwa air yang mereka produksi sudah seimbang, yakni 7. PT Aetra pun menunjukkan daftar pemeriksaan PH air yang diproduksi di Instalasi Pengolahan Air (IPA) Buaran, umumnya 7 hingga 7,2.
Menurut ahli lingkungan Institut Pertanian Bogor, Suprihatin, rendahnya kadar PH pada kedua sampel air itu sebagai dampak tingginya kadar pembusukan organik pada air bakunya."Rendahnya PH ini adalah dampak," ucapnya.
Menurutnya, kadar PH pada air bersih yang dipergunakan untuk konsumsi itu tak boleh kurang. Sebab, air dengan PH rendah dapat melarutkan logam yang menjadi wadah air tersebut. Jika air itu dikonsumsi dalam jangka panjang maka dapat menyebabkan penyakit seperti kangker.
“Perusahaan pengolah air semestinya meningkatkan kadar PH air tersebut hingga netral,” ucapnya.
Suprihatin juga mengingatkan bahwa metode pengambilan sampel yang dilakukan Kompas hanya untuk membuktikan kualitas air di lokasi tempat pengambilan sampel. Hasil pengujian sampel itu tak dapat dijadikan gambaran umum terkait kualitas air perpipaan di Jakarta.
“Kecuali sampel itu diambil dan diuji sampai beberapa kali, dan kalau airnya seragam terus, itu boleh dipakai menyimpulkan yang lain bahwa yang lain juga seperti itu,” jelasnya. (BENEDIKTUS KRISNA YOGATAMA/HELENA NABABAN)