Caleg Dinilai Lebih Memilih Politik Uang daripada Kampanye
Oleh
Regina Rukmorini
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Banyak calon anggota legislatif (caleg) saat ini mengandalkan politik uang untuk meraup suara. Selain melihat pengalaman pada Pemilu 2014, politik uang makin gencar dilakukan karena kondisi masyarakat sekarang ini yang cenderung apatis dan tidak tertarik pada kampanye atau hal-hal yang lebih mendalam menyangkut profil caleg.
”Saat ini, banyak caleg tidak lagi tertarik untuk melakukan sosialisasi atau memperbanyak pemasangan alat peraga kampanye. Mereka hanya terfokus menyimpan dan mengalokasikan dana sebanyak-banyaknya untuk kegiatan membagi-bagi uang kepada pemilih,” ujar Ketua Lembaga Kajian Otonomi Daerah Kota dan Kabupaten Magelang M Abdulrahman saat ditemui dalam acara pendidikan pemilih bersama pemangku kepentingan yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Magelang, Jawa Tengah, di Kota Magelang, Rabu (6/2/2019).
Abdulrahman mengatakan, pengakuan tersebut dia dapatkan secara langsung, dari hasil diskusi dan pertemuan bersama sejumlah caleg di Kota dan Kabupaten Magelang.
Saat ini, di rumahnya masing-masing, para caleg pun sudah menyusun data nama personel ataupun kelompok masyarakat yang nantinya akan menjadi sasaran politik uang.
Para caleg tersebut, menurut dia, kini enggan dan pesimistis untuk berkampanye atau memasang alat peraga kampanye. Sebab, terbukti pada Pemilu 2014, banyak caleg yang tidak melakukan apa-apa dan tidak berkiprah apa pun justru terpilih menjadi wakil rakyat. Mereka terpilih semata-mata karena sudah membagikan uang kepada masyarakat pemilih.
”Menurut pengakuan para caleg tersebut, banyak wakil rakyat yang terpilih adalah mereka yang bahkan tidak dikenal oleh lingkungan sekitarnya sendiri,” ujarnya.
Di satu sisi, Abdulrahman mengatakan, kondisi ini terjadi karena dipicu oleh sikap masyarakat yang cenderung apatis. Sikap apatis dan ketidakpedulian masyarakat terhadap politik, termasuk pemilu dan pemilihan presiden (pilpres), menurut dia, terjadi sebagai bentuk akumulasi kejenuhan masyarakat melihat sengitnya persaingan antarpartai politik, terutama para calon presiden berikut kubu pendukungnya, untuk meraih dukungan warga pemilih.
Mereka hanya terfokus menyimpan dan mengalokasikan dana sebanyak-banyaknya untuk kegiatan membagi-bagi uang kepada pemilih.
”Yang banyak muncul di media sosial dan berita di media adalah perilaku dan informasi yang saling menjelekkan satu sama lain. Dari para calon, sama sekali justru tidak terlontar program yang jelas. Masyarakat yang bosan melihat kondisi pada akhirnya akan berusaha menjauhkan diri dari politik. Ketika harus memilih, mereka akan memilih seadanya saja,” ujarnya.
Sudah didekati
Politik uang ini juga diakui seorang warga pemilih di Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang. Warga yang tidak mau disebutkan namanya ini mengatakan, saat ini para caleg sudah ”bergerilya” melakukan pendekatan kepada kelompok-kelompok masyarakat, dan menjanjikan akan memberikan berbagai barang kebutuhan kelompok, ketika dirinya meraup target perolehan suara di suatu desa.
”Di toko bangunan, misalnya, caleg tersebut sudah membayar untuk pembelian sejumlah bahan bangunan. Berdasarkan kerja samanya dengan toko tersebut, caleg tersebut meminta agar material bangunan baru bisa diberikan kepada kelompok tertentu saat dirinya berhasil meraih target suara di desa sekitar,” ujarnya.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Semarang, Nur Hidayat Sardini, mengatakan, politik uang memang selalu berpotensi terjadi di setiap ajang pemilihan. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diharapkan menyadari potensi ini dan segera berupaya melakukan tindak pencegahan dengan bekerja sama dengan tokoh-tokoh masyarakat.
Ketua Bawaslu Kota Magelang Endang Sri Rahayu mengatakan, kecenderungan caleg yang saat ini malas memasang alat peraga kampanye memang terbukti di Kota Magelang. Saat ini, menurut dia, jumlah alat peraga yang terpasang hanya berkisar ratusan, kurang dari 1.000 alat peraga. Padahal, dengan jumlah caleg DPRD Kota Magelang yang mencapai 246 orang, dan masing-masing berkesempatan memasang lima alat peraga, seharusnya jumlah alat peraga yang terpasang sudah lebih dari 1.000.
Endang tidak bisa memastikan apakah hal ini berarti para caleg lebh memilih mengalokasikan uang untuk bagi-bagi uang kepada pemilih. Kendati demikian, dia akan tetap berupaya menggandeng masyarakat dan tokoh-tokoh di dalamnya untuk bersama-sama mencegah politik uang.