Cegah Radikalisme, Masjid Didorong Jadi Pusat Literasi Keagamaan
Oleh
M Fajar Marta
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Peran masjid menjadi pusat literasi keagamaan harus terus diupayakan dalam rangka melawan penyebaran radikalisme. Kajian keagamaan yang melampaui pembahasan normatif doktrin keagamaan semata perlu diupayakan agar mampu melawan narasi keagamaan absolut.
“Diskusi soal Islam dan ilmu pengetahuan masih kurang. Kebanyakan masih berkutat pada persoalan doktrin agama yang normatif,” kata Direktur Centre for Study of Religion dan Culture (CRSC) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Irfan Abubakar, di Jakarta, Rabu (6/2/2019).
Ia menilai, masjid belum juga mampu menghadirkan Islam sesuai dengan konteks sosial historis yang terus mengalami perubahan. Pembahasan keagamaan yang mencakup tema sosial, misalnya soal perempuan dan anak ataupun soal ilmu pengetahuan dan lingkungan hidup sampai kini belum bergema di lingkungan masjid.
Transmisi pengetahuan merupakan salah satu fungsi masjid sebagai sebuah institusi sosial umat muslim. Pengajar UIN Jakarta, Jajang Jahroni, mengatakan, kini masjid tidak bisa maksimal menjalankan fungsi edukasi itu karena manajemennya tidak berjalan sehat.
Masjid kini kelimpungan menghimpun dana untuk membiayai kebutuhannya sendiri. Ia menilai, hal ini merupakan efek buruk campur tangan negara dalam pemanfaatan dana zakat.
Melalui Badan Zakat Daerah dan Badan Zakat Nasional, campur tangan negara mengganggu kebebasan masjid mengelola dan zakat. “Selama masjid mengalami kesusahan ekonomi, berbagai macam masalah akan terus datang,” kata Jajang.
Narasi absolut dan radikalisme akan mudah mendapatkan tempat ketika fungsi edukatif masjid itu tidak mampu diterapkan para takmir, khatib, dan imam. “Kekosongan narasi itu merupakan umpan balik yang empuk untuk menanamkan paham radikalisme,” kata Guru Besar UIN Jakarta Asep Usman Ismail.
Ia menyebut, radikalisme adalah salah satu tahap yang sengaja dibangun untuk mengembangkan militanisme yang bermuara terorisme. Yang pertama, adalah menghidupkan sifat intoleransi. Situasi masyarakat Indonesia yang plural sangat mudah dimanfaatkan untuk membangkitkan sifat itu.
Selanjutnya, gagasan radikal, misalnya gagasan membentuk negara khilafah, akan mulai ditawarkan. Ketika gagasan itu mulai dipercaya banyak orang, maka saatnya aksi kekerasan terhadap kelompok lain dapat mulai dilakukan.
“Muara akhirnya adalah tindak terorisme,” kata Asep. Oleh karena itu, ia mendorong agar fungsi masjid sebagai pusat literasi keagamaan segera dapat dihidupkan kembali.
Menanggapi hal itu, Direktur Peace Generation Indonesia, Irfan Amalee, berpendapat, perlu ada pendekatan baru yang dilakukan agar masjid dapat kembali mendapat tempat sebagai pusat literasi. Disrupsi yang diciptakan teknologi digital telah menghapuskan batas ruang, diskusi keagamaan saat ini dapat terjadi di mana pun dan kapan pun sejauh fasilitas internet tersedia.
“Jadikan masjid sebagai ruang publik, jangan batasi masjid hanya sebagai tempat beribadah yang sakral,” ujar Amalee. Ia berpendapat, manajemen organisasi perlu diubah dengan menyertakan lebih banyak orang berjiwa muda yang dapat menjalankan peran sebagai influencer.
Masjid Al Irsyad di Bandung merupakan salah satu contoh berhasil usaha evolusi masjid untuk tetap televan di zaman digital ini. Selain fotogenik, masjid itu juga terbuka memfasilitasi kegiatan yang digagas anak muda, misalnya mengundang sejumlah dai yang populer di Youtube.
“Perubahan pola pikir dalam manajemen mengelola masjid mutlak dibutuhkan. Kaum milenial membutuhkan suatu terobosan yang kreatif,” kata Amalee.