Eni Saragih Dituntut 8 Tahun Penjara, Hak Politik Dicabut Lima Tahun
Mantan Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar Eni Maulani Saragih dituntut pidana 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider empat bulan kurungan. Eni juga dituntut dicabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun.
Oleh
Antonius Ponco Anggoro
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mantan Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Golkar, Eni Maulani Saragih, dituntut pidana 8 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan. Eni juga dituntut membayar uang pengganti Rp 10,35 miliar dan 40.000 dollar Singapura, serta dicabut hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun.
Tuntutan tersebut disampaikan jaksa penuntut pada Komisi Pemberantasan Korupsi pada sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (6/2/2019). Sidang itu dipimpin majelis hakim yang diketuai Yanto.
”Menjatuhkan pidana penjara selama 8 tahun dan denda sebesar Rp 300 juta subsider 4 bulan kurungan, serta membayar uang pengganti Rp 10,35 miliar dan 40.000 dollar yang diperhitungkan dengan uang yang disetorkan oleh terdakwa ke rekening penampungan KPK dan yang telah disita dalam perkara ini,” kata jaksa Lie Putra Setiawan saat membacakan berkas tuntutan Eni.
Jaksa menyebutkan, apabila Eni tidak membayar uang pengganti tersebut dalam waktu satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, harta bendanya akan disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
Jika terdakwa tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut, terdakwa dipidana selama 1 tahun.
Sebelumnya, Eni didakwa menerima uang Rp 4,75 miliar dari pemegang saham Blackgold Natural Resources (BNR Ltd), Johanes Budisutrisno Kotjo. Uang tersebut diduga untuk menggerakkan Eni agar Kotjo bisa memperoleh proyek independent power producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1 (PLTU MT Riau-1).
Kronologi kasus
Pada tahun 2015, Kotjo melakukan kesepakatan dengan pihak investor China, Huadian Engineering Company Limited (CHEC Ltd), mengenai rencana pemberian fee sebagai agen dalam proyek pembangunan PLTU MT Riau-1.
Nilai dari proyek ini diperkirakan 900 juta dollar AS dengan fee 2,5 persen, yaitu sekitar 25 juta dollar AS.
Kotjo meminta Rudy Herlambang selaku Direktur PT Samantaka Batubara (anak perusahaan BNR Ltd) untuk mengirimkan surat pengajuan proyek IPP PLTU MT Riau-1 kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Surat itu memohon agar PLN memasukkan proyek tersebut ke dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN.
Namun, PLN tak kunjung memberikan tanggapan. Pada tahun 2016, Kotjo pun menemui Ketua DPR Setya Novanto untuk meminta bantuan agar diberi jalan untuk berkoordinasi dengan PLN.
Menindaklanjuti permintaan Kotjo, Novanto memperkenalkan Kotjo dengan Eni selaku anggota Komisi VII DPR yang membidangi energi, riset, dan teknologi, serta lingkungan hidup. Novanto meminta Eni agar mengawal permintaan Kotjo. Eni kemudian dijanjikan oleh Kotjo fee 2,5 persen dari total nilai proyek PLTU MT Riau-1. Eni pun menyanggupi hal ini.
Awal tahun 2017, Eni memperkenalkan Kotjo ke Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir. Eni menyebutkan, Kotjo adalah pengusaha tambang yang tertarik menjadi investor dalam proyek PLTU MT Riau-1.
Selanjutnya, Sofyan menyampaikan agar penawaran itu diserahkan kepada Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN (Persero) Supangkat Iwan Santoso.
Pada Maret 2017, IPP PLTU Riau-1 masuk dalam RUPTL PT PLN (Persero) 2017 sampai 2026 dan telah disetujui masuk dalam RKAP PT Pembangkitan Jawa Bali (PT PJB). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Infrastruktur Ketenagalistrikan, PT PLN (Persero) menunjuk anak perusahaannya, PT PJB, untuk melaksanakan sembilan proyek IPP, termasuk di antaranya proyek PLTU MT RIAU-1.
Selanjutnya, Eni beberapa kali memfasilitasi pertemuan antara Kotjo dan pimpinan PLN terkait pembahasan lanjutan proyek tersebut. Eni juga melaporkan perkembangan proyek ini kepada Novanto.
Setelah Novanto ditahan dalam kasus KTP elektronik, perkembangan proyek dilaporkan Eni kepada Idrus Marham selaku pelaksana tugas Ketua Umum Golkar. Hal ini agar Eni tetap diperhatikan oleh Kotjo.
Munaslub Golkar
Selain itu, Eni diarahkan oleh Idrus untuk meminta uang kepada Kotjo sebesar 2,5 juta dollar AS atau sekitar Rp 35 miliar untuk keperluan Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar. Eni pun menghubungi Kotjo dan meminta uang sejumlah 3 juta dollar AS atau sekitar Rp 42 miliar dan 400.000 dollar Singapura atau sekitar Rp 4 miliar kepada Kotjo.
Atas permintaan tersebut, Kotjo memerintahkan sekretaris pribadinya, Audrey Ratna J, untuk memberikan uang Rp 4 miliar kepada Eni melalui staf Eni, yakni Tahta Maharaya. Uang tersebut diberikan melalui dua tahap.
Pilkada Temanggung
Tak hanya itu, Eni kembali meminta uang kepada Kotjo sebesar Rp 10 miliar. Uang untuk membiayai keperluan pemilihan kepala daerah suami Eni, M Al Khadziq. Saat itu, Khadziq mencalonkan diri menjadi bupati Temanggung. Melalui Audrey, Kotjo hanya memberikan Rp 250 juta kepada Eni.
Jaksa menyebutkan, Eni beberapa kali meminta uang kepada Kotjo. Pada Juli 2018, Eni meminta Rp 500 juta kepada Kotjo. Pemberian uang itu dilakukan secara langsung di Graha BIP antara Kotjo, Eni, Audrey, dan Tahta. Sesaat setelah pemberian uang tersebut, KPK menangkap tangan dan mengamankan uang itu.
Selain itu, Eni juga didakwa menerima gratifikasi senilai Rp 5,6 miliar dan 40.000 dollar Singapura dari sejumlah direktur dan pemilik perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas.
Jaksa menyebutkan, Eni sebagai penyelenggara negara tidak semestinya melakukan perbuatan tersebut. Eni dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi sehingga merugikan masyarakat pengguna infrastruktur. Hal yang meringankan, Eni bersikap kooperatif selama persidangan dan belum pernah ditahan sebelumnya.
Jaksa menyatakan, Eni bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 Huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
Perbuatan Eni juga merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 B Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Atas tuntutan tersebut, Eni dan kuasa hukumnya mengajukan nota pembelaan atau pleidoi. Hakim menyetujuinya dan sidang akan dilanjutkan pada 19 Februari 2019. (MELATI MEWANGI)