Gagasan Terbaru Tanto, Perasaan Seniman Dijadikan Museum Lima Gunung
Diresmikan pada Selasa (5/2/2019), Museum Lima Gunung, museum seni yang berlokasi di Studio Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, tidak memiliki katalog. Tidak ada catatan yang memuat data lengkap tentang jumlah dan nama setiap koleksi yang ditampilkan.
Tidak ada pula keterangan yang ditempel untuk menandai setiap benda yang dipajang. Yang ada hanyalah energi membuncah dari si penggagas museum, Sutanto Mendut. Dia fasih bercerita tentang karya seni yang dipajang berikut sejarah seni dan muatan rasa para seniman, yang ada di dalamnya.
Tak ada angka yang pasti, tetapi dengan melihat demikian banyak benda yang dipajang—ditambah sebagian yang masih tersimpan dalam peti—jumlah koleksi diperkirakan mencapai ribuan. Sebagian di antaranya koleksi Sutanto yang berasal dari seniman di sejumlah daerah. Tentu saja, sebagian lagi karya para seniman yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung (KLG). Komunitas yang berdiri sejak 2002 ini beranggotakan para seniman yang berasal dari kawasan lereng lima gunung yang ada di Kabupaten Magelang, yaitu Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, Andong, dan perbukitan Menoreh.
Baca juga: Festival Lima Gunung
Koleksi yang ditampilkan antara lain berupa patung, lukisan, wayang, dan kostum tari. Di salah satu bagian tembok yang berada di bagian depan dekat pintu masuk juga ditampilkan koleksi berupa tulisan yang sering diucapkan oleh para seniman. Termasuk salah satu di antaranya adalah ”quotations” dari almarhum Mbah Dargo, seniman dari lereng Gunung Merbabu, di Warangan, Kecamatan Pakis, yaitu seni yen apik ora iso ditiru, elek ora iso dicacat. Kata-kata itu bermakna bahwa sesuatu disebut karya seni jika saat bagus tidak bisa ditiru, tetapi saat terlihat buruk, tetap saja sulit dikritik.
”Kalimat Mbah Dargo itu jadi kalimat sakti KLG,” ujar Sutanto yang pernah menjabat sebagai Presiden Lima Gunung.
Sekalipun terdengar remeh, kalimat itulah yang menjadi bagian dari nilai historis Mbah Dargo yang berpulang sekitar dua tahun silam. Dengan melihat dan mengingat kalimat tersebut, setiap orang, yang pernah kenal, akan teringat dengan kesederhanaan Mbah Dargo yang sering berteriak meminta imbalan uang Rp 21.000. Menurut salah seorang seniman, anggota KLG, Handoko, uang Rp 21.000 itu adalah uang yang biasa dikeluarkannya untuk biaya transportasi dari rumahnya ke Studio Mendut, yang dahulu selalu menjadi lokasi pementasan kesenian.
”Kepada Pak Tanto (pemilik Studio Mendut), dia selalu meminta uang senilai Rp 21.000. Dia tidak pernah meminta dan tidak mau menerima uang lebih,” ujarnya.
Selain jejak kesederhanaan Mbah Dargo, dalam Museum Lima Gunung juga terdapat karya seni yang menandai langkah pertama sejumlah seniman memulai kariernya. Menurut Sutanto, sebagian karya seni di awal karier yang dimaksud adalah karya seni wayang milik Sujono, seniman asal Desa Krogowanan, Kecamatan Sawangan. Sebagian dari lebih 10 wayang tersebut adalah karya yang diberikan ke Sutanto sebagai bentuk upaya promosi, dan sebagian lainnya memang dibeli oleh Sutanto.
”Karya Sujono yang dipajang di museum sekaligus menjadi rekam jejaknya. Jika dulu saya bisa membeli banyak, sekarang saya saya tidak lagi bisa membelinya karena harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah per buah,” ujarnya.
Hal serupa juga ditemui pada sejumlah koleksi patung batu milik Ismanto, seorang seniman dari Desa Sengi, Kecamatan Dukun. Sebagian koleksi yang dipajang di museum adalah koleksi yang dibuat di tahun-tahun pertamanya berkarya saat Ismanto masih memiliki rumah berbahan bambu. Jika dulu bisa cuma-cuma diberikan kepada siapa saja, termasuk Sutanto Mendut, kini karya Ismanto sudah dibeli oleh sejumlah kolektor seni di sejumlah kota di seluruh Indonesia, dari Jakarta hingga Papua, juga ke sejumlah negara, seperti Tahiti, Hawai, dan Irlandia. Patung karyanya laku terjual dari ratusan juta hingga miliaran rupiah.
Tidak hanya ada dalam cerita perihal seniman pembuatnya, muatan rasa itu juga dalam inspirasi yang melatarbelakangi lahirnya karya seni tersebut. Sujono mengatakan, salah satu karya terbaru yang diberikan adalah lukisan penari, yang dibuatnya dengan berbahan sampah plastik.
Lukisan itu adalah lukisan yang menggambarkan sosok Nani, penari topeng Losari, Cirebon, yang dicerai oleh suaminya karena dia memilih eksis di dunia tari. Nani dicerai dan dilarang bertemu dengan dua anaknya.
”Ceritanya sungguh mengharukan. Begitu mendengarnya, saya langsung terinspirasi untuk melukisnya,” ujarnya.
Bukan museum
Sutanto mengatakan, oleh sejumlah pejabat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Museum Lima Gunung ini tidak termasuk kategori sebagai museum. Namun, dia berujar, museum ini memang berbeda, tidak bisa memenuhi standar museum pada umumnya.
”Ini bukan seperti museum lainnya. Museum Lima Gunung adalah living museum,” ujarnya.
Museum Lima Gunung lebih memuat tentang perasaan dan pengalaman hidup yang sudah dilalui para seniman. Semua hal tersebut memberi gambaran tentang pelajaran hidup.
”Museum ini memang tidak perlu kurator atau investor bermodal besar. Kami tidak sedang bermain nominal harga penjualan karya seni di sini,” ujarnya.
Sujono mengatakan, para seniman dari KLG pun sebenarnya tidak berharap muluk-muluk pada keberadaan Museum Lima Gunung. Mereka hanya berharap, siapa pun yang datang berkunjung bisa mengenal lebih jauh tentang KLG serta nilai-nilai penting dalam berkesenian.
Museum Lima Gunung lebih memuat tentang perasaan dan pengalaman hidup yang sudah dilalui para seniman.
Selama hampir 17 tahun berdiri, banyak seniman dari sejumlah daerah pun telah belajar mencari tahu dengan aktivitas berkesenian para seniman KLG. Dalam tiga bulan terakhir, keingintahuan serupa juga datang dari ratusan anak-anak sekolah SD hingga SMA yang berdatangan untuk belajar tentang manajemen kesenian KLG.
”Baik kepada para seniman ataupun para siswa yang datang untuk belajar, kami memberi tahu bahwa modal terpenting untuk berkesenian secara total adalah dengan beraktivitas kesenian tanpa modal,” ujarnya.
Dari 2002 hingga saat ini, KLG rutin menggelar Festival Lima Gunung (FLG). Sebelumnya, hingga 2006 FLG digelar dengan mengandalkan modal dari sponsor. Namun, setelah itu mereka murni menggunakan modal sendiri, bahkan juga berani menolak sponsor.
Sujono mengatakan, nilai-nilai penting berkesenian lain juga bisa dilihat dalam koleksi Museum Lima Gunung. Museum, dengan beragam koleksinya, menegaskan bahwa kebersamaan mereka tidak sia-sia. Ada pelajaran hidup yang terlahir dari sana.