Jerit Pilu Korban Banjir Bandang di Aceh Tenggara
Hutan Leuser yang rapat, indah, menjadi ruang dan penyangga hidup satwa dan manusia yang tinggal di sekelilingnya semakin rusak oleh ulah manusia. Air bah semakin sering menerjang. Korban-korban terus bermunculan akibat kerusakan yang terjadi.
Jelang sore, Selasa (5/2/2019), Maimunah (50), warga Desa Pulanas, Kecamatan Babussalam, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh, duduk tepekur di bawah pohon jambu. Dia menatap pilu ke Sungai Lawe Bulan.
Sungai di dekat rumahnya itu ternyata telah menghanyutkan rumah semipermanen yang dibangun 40 tahun bersama mendiang suaminya. Rumah itu kini raib dibawa arus. ”Ini yang tertinggal hanya fondasi di bagian teras,” ujar Maimunah.
Banjir bandang menerjang kawasan Kecamatan Babussalam, Lawe Bulan, Bambel, Lawe Sumur, Tanah Alas, dan Babur Rahman di Aceh Tenggara menjelang Tahun Baru, Senin (31/12/2018). Air bah itu menjadikan puluhan rumah warga hanyut dan ratusan rumah rusak ringan. Beberapa jembatan dan ruas jalan juga rusak.
Sungai Lawe Bulan yang telah lama tidak bergolak, malam itu menumpahkan isinya dan menerjang apa saja yang ada di sepanjang tanggul sungai. Ratusan warga kehilangan tempat tinggal.
Maimunah menjadi salah satu korbannya. Dengan pilu, ia saksikan rumah semipermanen miliknya ambles ke sungai dan hilang bersama air yang mengamuk. Beberapa barang elektronik yang dikeluarkan juga terendam banjir.
Rumah itu berada di sepadan sungai. Batas rumah dengan sungai hanya 3 meter. Rumah-rumah yang berada di sempadan itulah yang hanyut terbawa arus.
Baca juga: 1.765 Rumah di Aceh Tenggara Tergenang Banjir
Sehari sebelumnya, sebenarnya Maimunah sudah cemas. Debit air sungai naik dan arusnya kian deras. Hati tuanya berbisik, sesuatu yang buruk akan terjadi. Namun, dia tidak pernah membayangkan rumahnya akan lenyap dibawa arus.
Kini dia tidak memiliki rumah untuk tempat tinggal. Anak perempuan semata wayang telah lama tinggal di Banda Aceh mengikuti suaminya. ”Saya seorang janda. Saat ini sebatang kara. Sekarang saya menumpang di rumah tetangga,” ujarnya.
Untuk menyambung hidup, dia berjualan bahan bakar minyak eceran dan jajanan untuk anak sekolah. Dia berharap pemerintah membantu perbaikan rumahnya. ”Jika tidak mau dibangun rumah baru, berikan saya beberapa papan untuk saya bikin rumah darurat di sini,” kata Maimunah.
Banjir bandang juga telah membuat Abdussalam (60), warga Natam Baru, Kecamatan Badar, kehilangan harta benda. Banjir yang terjadi pada Jumat (30/11/2018) malam itu menghanyutkan rumah toko kayu miliknya.
Rumah itu berada sekitar 4 meter dari sempadan Sungai Natam. ”Hanya beberapa meja dan kursi yang tersisa. Rumah saya tidak tahu ke mana. Fondasi pun tidak terlihat lagi,” kata Abdussalam.
Banjir bandang yang menerjang Natam Baru itu mengagetkan warga. Mereka tidak pernah menyangka bencana akan sedahsyat itu sehingga hanya mengevakuasi diri, sedangkan harta benda dibiarkan di dalam rumah.
Saat air bah menerjang kampung, warga hanya pasrah manyaksikan rumah-rumah hancur dihantam kayu gelondongan dan hanyut bersama gelombang.
Musibah ini karena kesalahan manusia merusak hutan. Walaupun bukan kami yang merusak hutan, imbasnya tetap untuk semua.
Abdussalam mengalami kerugian sebesar Rp 200 juta lebih. Rumahnya berukuran 6 meter x 20 meter yang dijadikan tempat berjualan mi pangsit dan cendol musnah. Untuk bertahan hidup, dia kembali berjualan cendol di sebuah toko permanen di depan bekas tapak rumah yang lama.
”Musibah ini karena kesalahan manusia merusak hutan. Walaupun bukan kami yang merusak hutan, imbasnya tetap untuk semua,” ujar Abdussalam.
Kian sering
Dalam dua tahun terakhir, bencana alam berupa banjir luapan dan banjir bandang kian sering melanda Aceh Tenggara. Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Aceh Tenggara Dicky Danu Wijaya mengatakan, sejak November 2018 hingga Januari 2019, terjadi lima kali banjir luapan dan banjir bandang.
Daerah yang kerap dilanda banjir bandang adalah Kecamatan Badar, Ketambe, Leuser, dan Darul Hasanah. Tahun lalu, Kecamatan Lawe Sigala-gala, Seumadam, dan Babul Makmur juga pernah diterjang banjir bandang.
”Semua kawasan di Aceh Tenggara rawan banjir,” kata Dicky. Ia mengatakan, bencana yang terjadi sejak November 2018 hingga Januari 2019 menyebabkan jalan rusak sepanjang 4,5 kilometer. Jalan rusak itu tersebar di beberapa titik. Sembilan jembatan rusak berat, 250 rumah rusak berat, dan fasilitas publik lainnya juga rusak.
Sebelumnya, Wakil Bupati Aceh Tenggara Bukhari mengatakan, hasil perhitungan yang dilakukan dinas-dinas terkait menunjukkan nilai kerugian akibat banjir yang terjadi di Aceh Tenggara cukup besar.
”Jika kami kalkulasi dalam bentuk rupiah, nilai kerugian mencapai Rp 105 miliar. Ini angka yang besar,” kata Bukhari.
Baca juga: Empat Bulan Aceh Tenggara Rugi Rp 105 miliar
Bukhari mengatakan, rincian kerugian itu meliputi kerugian yang dihitung Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sebesar Rp 46,5 miliar, Dinas Perumahan dan Permukiman Rp 42,5 miliar, Dinas Pertanian Rp 5,2 miliar, Dinas Pendidikan Rp 4,6 miliar, Dinas Perikanan Rp 4,6 miliar, Dinas Pariwisata Rp 824 juta, dan Dinas Lingkungan Hidup Rp 750 juta.
”Kerugian cukup besar lantaran daerah yang terkena banjir bandang luas. Ada banyak infrastruktur yang rusak, seperti jembatan dan jalan,” katanya. Bukhari mengatakan, degradasi lingkungan, seperti kerusakan daerah aliran sungai dan hilangnya tutupan hutan, memicu banjir bandang.
Field Manager Regional II Aceh Tenggara Forum Konservasi Leuser (FKL) Faisal Selian menuturkan, banjir dipicu kerusakan alam. Alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan membuat daya dukung alam menurun. Akibatnya, saat hujan dalam intensitas tinggi tidak terserap ke dalam tanah karena pohon-pohon berkurang.
”Struktur alam Aceh Tenggara seperti mangkok. Wilayah permukiman dikelilingi perbukitan terjal. Jika hutan rusak, limpasan air otomatis menerjang kawasan penduduk,” kata Faisal.
Baca juga: 807 Hektar Hutan Hilang di TNGL
Pada tahun 2018, FKL mencatat kerusakan hutan di Aceh Tenggara, baik di hutan lindung maupun Taman Nasional Gunung Leuser, mencapai 1.000 hektar. Perambahan dan pembalakan liar marak terjadi.
Bencana alam akan terus menghantui daerah itu selama kondisi alamnya tidak ada perbaikan.