Kaji Ulang Penutupan Trotoar
Penutupan satu sisi trotoar di Jalan Jati Baru Raya dinilai tak sejalan dengan kebijakan mengutamakan kepentingan pejalan kaki dan integrasi angkutan umum.
JAKARTA, KOMPAS Penutupan satu sisi trotoar di Jalan Jati Baru Raya, yaitu di samping Stasiun Tanah Abang, Jakarta Pusat sudah diberlakukan selama sekitar sepekan terakhir. Sejumlah personel Dinas Perhubungan DKI Jakarta berjaga di trotoar yang ditutup untuk mencegah orang berjalan kaki di sana seperti terlihat pada Selasa (5/2/2019) kemarin.
Sementara itu, sepanjang sisi trotoar dan median jalan dipagari. Beberapa pejalan kaki tetap nekat berjalan di pinggir jalan di sisi luar pagar.
Untuk menyeberang ke trotoar di sisi lain, pejalan kaki harus naik ke jembatan penghubung, melalui jembatan penyeberangan multiguna (JPM) Tanah Abang. Terdapat tujuh pintu di beberapa titik untuk masuk dari trotoar ke jembatan penghubung itu.
Namun pintu dan jembatan sangat sempit, hanya selebar sekitar 1,5 meter. Lebar ini hanya memungkinkan dua orang untuk berpapasan, sehingga pejalan kaki harus berjalan satu baris dalam dua arah.
Pintu dari Jalan Jati Baru Bengkel sangat padat karena banyaknya pengunjung pada Selasa siang. Akses ini akan semakin padat saat ada pengunjung yang membawa banyak barang belanjaan.
Deki (26), pejalan kaki, menjinjing kopernya melewati Jalan Jati Baru Raya. Ia ingin menuju Stasiun Tanah Abang. Deki tidak sepakat jika pejalan kaki dilarang melintas di trotoar tersebut. ”Trotoar ini kan haknya pejalan kaki. Kok ditutup? Bagaimana, sih?” kata Deki.
Deki tidak melewati JPM karena ingin memangkas waktu perjalanan. Di JPM, ia harus menyelinap di antara pedagang dan penumpang kereta yang menuju Blok G Pasar Tanah Abang. ”JPM dan trotoar kan sama-sama buat pejalan kaki. Harusnya kami bisa bebas menentukan pilihan,” katanya.
Darman (55) menaiki mikrolet dari Slipi, Jakarta Barat. Mikrolet itu menurunkannya di titik yang melewati pintu masuk JPM di dekat Blok G. ”Kalau naik JPM, harus jalan memutar lagi, nih,” kata Darman.
Darman memilih melintas di Jalan Jati Baru Raya. Trotoar yang berada di sisi kanan atau sisi Stasiun Tanah Abang juga sudah diberi besi pembatas. Ini menyulitkannya. ”Untuk apa trotoar ini dibuat kalau bukan untuk pejalan kaki,” katanya.
Akses masuk yang sempit ini juga menyulitkan kaum rentan dan difabel seperti orang lanjut usia, anak-anak, perempuan hamil dan kaum difabel. “Akses pejalan kaki itu minimal lebarnya dua meter, ini untuk mengakomodasi kursi roda berpapasan,” kata Deddy Herlambang, Peneliti Transportasi di Institut Studi Transportasi (Instrans).
Beberapa pejalan kaki menilai kondisi yang lebih nyaman karena adanya atap, namun mengeluhkan jarak yang semakin jauh untuk berjalan kaki di seputaran Tanah Abang. “Ini jadi semakin muter ya, jadi jauh sekali mau ke seberang saja,” kata Cayadewi (25), warga Cibinong yang datang ke Tanah Abang untuk berbelanja.
Seperti sudah diberitakan sebelumnya, mulai 7 Februari 2019, satu sisi trotoar di Jalan Jati Baru Raya, tepatnya di bawah JPM Tanah Abang, tak diperbolehkan dilewati pejalan kaki. Trotoar itu sudah digunakan untuk halte Transjakarta dan Jaklingko yang langsung tersambung dengan stasiun.
Jalan di bawah JPM itu hanya diperuntukkan bagi kendaraan bermotor. Ujicoba dan sosialisasi sudah dilakukan selama sepekan terakhir.
Wali Kota Jakarta Pusat Bayu Meghantara mengatakan, kebijakan terkait JPM ini merupakan bagian untuk mewujudkan kawasan itu menjadi transit oriented development (TOD) atau pengembangan kawasan berorientasi transit. Kebijakan ini akan berlaku permanen. “Ini terkait sistem integrasi angkutan sebenarnya,” katanya.
Bayu mengatakan, pintu akses sudah dibuat memadai karena arus pejalan kaki sudah terbagi, yaitu orang yang mau lanjut ke Jaklingko maupun Transjakarta akan bisa langsung ke bawah, sedangkan orang yang mau melanjutkan ke Pasar Tanah Abang bisa melalui JPM Tanah Abang.
Menurut rencana, seluruh lahan di Jati Baru Raya akan dibebaskan untuk pembangunan pertokoan dan hunian berkonsep tata guna campuran.
Kontradiktif
Koordinator Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus menyesalkan kebijakan penutupan trotoar ini. Sebab, menurutnya, kebijakan ini merenggut sebagian hak pejalan kaki. Padahal, trotoar ini merupakan hak dasar bagi pejalan kaki.
Menurut Alfred, kebijakan integrasi angkutan umum massal pun seharusnya tak lalu menutup akses pejalan kaki. “Kami sangat dukung untuk pengembangan moda transportasi umum massal. Namun jangan lalu hak dasar dihilangkan. Karena tidak semua pejalan kaki di Tanah Abang mau menuju stasiun atau ke pasar saja. Lalu mereka ini harus lewat mana. Ini sesat pikir,” katanya.
Menurut Alfred, JPM tak bisa menggantikan trotoar. Sebab tujuan awal pembuatan JPM ini adalah untuk mewadahi pedagang kaki lima yang awalnya mengokupasi trotoar lalu ditempatkan di jalan raya.
Kebijakan ini juga memperlihatkan tidak adanya perencanaan yang matang terhadap penataan Tanah Abang karena terus berubahnya konsep penataan di sana. Trotoar di Jalan Jati Baru baru saja dibangun beberapa tahun lalu, namun baru beberapa tahun, sudah diberlakukan pelarangan.
Deddy Herlambang mengatakan, pelarangan pejalan kaki di trotoar kontradiktif dengan konsep kota dengan sistem transportasi cerdas, yaitu mengutamakan kepentingan pejalan kaki. Pengguna angkutan umum sudah pasti pejalan kaki. Agar orang nyaman berpindah dari satu moda ke moda lain juga ke lokasi tujuan, akses memadai melalui trotoar nyaman menjadi kunci penting.
Akses pejalan kaki seharusnya dirancang nyaman, mudah dan setara. Artinya, akses pejalan kaki seharusnya memudahkan kaum difabel. “Ini jelas mempersulit pejalan kaki, bukan mempermudah,” katanya.
Menurut Deddy, penutupan trotoar bagi pejalan kaki secara permanen ini melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalulitas dan angkutan jalan. Sebab, trotoar merupakan satu kesatuan dengan jalan, tak boleh ditutup secara permanen. Kebijakan penutupan trotoar Jati Baru Raya ini pun didorong untuk dikaji lagi.
(INSAN ALFAJRI)