Kerja Sama Bebas Sertifikasi Halal Bisa Matikan Pasar UMKM
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Indonesia Halal Watch menolak rencana kerja sama bebas sertifikasi halal antara Indonesia dan Malaysia. Pembebasan kewajiban mendapatkan sertifikasi halal dari negara tujuan ekspor dinilai dapat merugikan Indonesia karena daya saing produk belum setara.
Pada 26 Januari 2019, kantor berita resmi Malaysia yang disebut Pertubuhan Berita Nasional Malaysia (Bernama) memberitakan, pelaku usaha Malaysia akan masuk ke pasar Indonesia tanpa perlu menjalani proses sertifikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebagai otoritas halal di Indonesia. Produk Malaysia dapat masuk cukup dengan menggunakan sertifikasi halal dari Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (Jakim).
Masih mengutip Bernama, proses negosiasi terkait hal itu telah berlangsung selama tiga tahun. Nota kesepahaman kedua negara akan ditandatangani oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Jakim pada April 2019.
Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Ikhsan Abdullah dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (6/1/2019), mengatakan, rencana pembebasan kewajiban untuk memperoleh sertifikasi halal dari Indonesia dapat membuat Indonesia dibanjiri oleh produk dari Malaysia.
“Saat ini saja banyak produk luar negeri tanpa sertifikasi halal yang jelas masuk ke Indonesia. Kalau diizinkan secara bebas maka dapat mengganggu usaha kecil dan menengah (UKM) serta perekonomian,” tutur Ikhsan.
Ia melanjutkan, pemerintah diharapkan untuk menunda dan mengkaji ulang isi perjanjian yang akan ditandatangani pada April 2019 tersebut. Pelaku usaha Malaysia tetap perlu mengajukan sertifikasi halal di Indonesia yang saat ini diberikan MUI.
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH) menyebutkan, produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal.
Namun, Pasal 47 juga menyebutkan, produk halal luar negeri yang diimpor Indonesia tidak perlu diajukan permohonan sertifikat halal dari Indonesia. Ini dapat berlaku dengan catatan produk telah disertai sertifikat halal dari lembaga halal luar negeri yang telah bekerja sama dengan pemerintah Indonesia untuk saling mengakui sertifikasi halal masing-masing.
Secara terpisah, Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Sukoso menyampaikan, BPJPH belum melakukan kesepakatan bebas sertifikasi halal dengan negara manapun, termasuk Malaysia.
Adapun BPJPH adalah badan untuk menangani pendaftaran dan sertifikasi halal yang baru diresmikan pada 2017. MUI akan tetap memiliki kewenangan untuk menetapkan fatwa halal suatu produk.
Menurut Sukoso, pihak penanggung jawab jaminan produk halal Malaysia pernah berkunjung ke BPJPH. Tetapi, kunjungan tersebut tidak membahas rencana kesepakatan bebas sertifikasi halal untuk produk dari kedua negara.
Sukoso melanjutkan, BPJPH sekarang masih membahas aturan tentang kerja sama antar-negara dengan kementerian dan lembaga yang terkait. Ini dilakukan sembari menunggu penandatanganan peraturan turunan dari UU No 33 tahun 2014 tentang JPH oleh presiden.
Pada dasarnya, tuturnya, perjanjian kerja sama internasional pada dasarnya harus saling menguntungkan kedua belah pihak. “Kerja sama akan memberikan pengakuan dan penerimaan terhadap standar dan produk negara masing-masing. Indonesia jangan hanya dijadikan sebagai pasar saja,” kata Sukoso.
Perjanjian kerja sama internasional pada dasarnya harus saling menguntungkan kedua belah pihak
Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Fatwa MUI Salahuddin al-Ayyubi menambahkan, kebijakan bebas sertifikasi halal harus dikaji secara komprehensif, termasuk dari sisi dampak negatif kebijakan. Tidak semua produk luar negeri dapat serta merta masuk ke Indonesia.
Dalam State of the Global Islamic Economy Report 2018/19, konsumsi masyarakat Indonesia untuk produk halal mencapai 218,8 miliar dollar AS pada 2017. Indonesia saat ini menduduki di peringkat 10 dalam Indikator Ekonomi Islam Global (GIEI) dengan skor 45.