LHKPN, Kekayaan, dan Korupsi
Laporan harta kekayaan penyelenggara negara sudah saatnya dioptimalkan untuk mendorong upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Terkait hal itu, aturan tentang penambahan harta kekayaan secara tidak wajar, mendesak untuk dibuat.
Langkah terobosan untuk mempercepat dan mengefektifkan upaya pemberantasan korupsi hampir selalu muncul setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap atau mengumumkan tersangka baru pelaku korupsi. Namun, sebagian besar dari langkah terobosan yang diajukan sampai saat ini masih berhenti di wacana.
Padahal, langkah terobosan tersebut kini amat mendesak. Pasalnya, korupsi terus saja terulang dengan pola dan kelompok pelaku yang hampir sama. Hal ini, misalnya, terlihat dalam penangkapan Bupati Mesuji, Lampung, Khamami pada 24 Januari lalu. Khamami menjadi kepala daerah ke-107 yang diproses hukum oleh KPK sejak lembaga itu berdiri tahun 2004.
Bentuk korupsi yang dilakukan Khamami, yaitu diduga menerima suap dari pihak swasta terkait proyek di daerahnya, hampir sama dengan bentuk korupsi yang dilakukan kepala daerah lain yang ditangkap KPK.
Efek jera
Vonis pidana yang rendah hingga tiadanya perampasan aset yang optimal selalu disebut sebagai beberapa penyebab gagalnya menumbuhkan efek jera untuk korupsi.
Perlunya revisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta keberadaan regulasi lain untuk memperkuat pemberantasan korupsi, seperti UU Perampasan Aset, banyak disebut juga sebagai langkah untuk mengatasi kondisi ini.
Konvensi PBB Antikorupsi (UNCAC) periode 2010-2015 bahkan telah mengeluarkan sejumlah rekomendasi untuk makin mengoptimalkan upaya pemberantasan korupsi. Isi rekomendasi itu antara lain terkait aturan mengenai penambahan harta kekayaan yang tidak wajar oleh penyelenggara negara.
Apabila diterapkan, ketentuan itu akan membuat aparat penegak hukum, termasuk KPK, memiliki ruang untuk mengoptimalkan perampasan aset milik koruptor.
Pasal 2 dan 3 UU No 20/2001 mematok hukuman maksimal untuk koruptor, yaitu pidana penjara maksimal seumur hidup. Sementara pidana mati dijatuhkan dalam keadaan tertentu.
Terkait pidana yang banyak dilakukan seperti suap, hukuman maksimalnya 20 tahun. Namun, mengacu pada data Indonesia Corruption Watch (ICW), rata-rata vonis untuk kepala daerah yang terbukti menerima suap hanya 6 tahun 4 bulan. Sementara rata-rata tuntutan yang diajukan jaksa adalah 7 tahun 5 bulan. Di sisi lain, uang negara yang berhasil dikembalikan pada 2017 hanya Rp 1,446 triliun dari total nilai korupsi Rp 29,419 triliun.
”Bayangkan, pengembalian keuangan negara tidak sampai 5 persen dari nilai korupsi karena yang terpenting adalah memenjarakan. Jelas ada yang keliru dari strategi pemberantasan korupsi selama ini,” kata Koordinator ICW Adnan Topan Husodo.
Tambahan kekayaan
Dalam Pasal 18 UU Tipikor sudah dimasukkan juga pidana tambahan berupa perampasan aset dan pembayaran uang pengganti. Namun, pidana tambahan uang pengganti ini jarang dijatuhkan. Jika dijatuhkan, kewajiban membayar uang pengganti ini dapat diganti pidana kurungan.
Sementara itu, perampasan aset terbatas pada yang dihasilkan atau digunakan dalam kasus korupsi tersebut. Padahal, jika isi laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang dilaporkan penyelenggara negara ditelusuri, mungkin dapat ditemukan sejumlah ketidakwajaran apabila dibandingkan dengan profil yang bersangkutan.
Khamami, misalnya, harta kekayaannya saat awal mencalonkan diri sebagai bupati Mesuji pada 2011, berdasarkan data LHKPN di situs KPK, tercatat Rp 14,11 miliar. Pada Pilkada 2017, Khamami kembali mencalonkan diri dan hartanya menjadi Rp 22,43 miliar. Kenaikan harta ini didominasi kepemilikan usaha dari bisnis burung walet, sewa rumah toko, hingga sewa kebun. Jika pada tahun 2011 hanya tercatat satu bisnis burung walet, pada 2017 usahanya mencapai 36 item.
Selain itu, ada Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latief. Dalam LHKPN yang diserahkan tahun 2004 saat menjabat anggota DPRD Kabupaten Hulu Sungai Tengah, tercatat ia memiliki kekayaan Rp 6,09 miliar. Namun, dalam LHKPN tahun 2015, yang disampaikan dalam rangka pencalonan sebagai bupati, kekayaannya mencapai Rp 41,15 miliar. Kenaikannya didominasi aset properti. Namun, saat ditelusuri, ternyata yang bersangkutan memiliki 16 mobil mewah yang tidak pernah dilaporkan.
Latief pun kemudian dijerat oleh KPK dengan tindak pidana pencucian uang.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan, pembuktian terkait dengan tindak pidana pencucian uang membutuhkan waktu lama. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, saat perkara berjalan, asetnya sudah hilang, berpindah tangan, atau nilai asetnya menurun.
Terkait hal itu, kehadiran ketentuan tentang illicit enrichment atau penambahan harta kekayaan secara tak wajar kini mendesak dilakukan.
Belum adanya payung hukum tentang illicit enrichment ini juga membuat data yang dimiliki Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan terkait data kekayaan sering kali tak mudah ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP, Arsul Sani, mengatakan, masalah terkait illicit enrichment sempat akan dimasukkan ke dalam RKUHP. Namun, hal itu menimbulkan perdebatan.
Terkait kemungkinan memasukkan ketentuan itu melalui revisi UU Tipikor, Arsul mengatakan, hal itu dapat dibicarakan lebih lanjut sesuai dengan kebutuhannya.
Akhirnya, komitmen pemerintah dan DPR amat dinanti untuk mengefektifkan pemberantasan korupsi di negeri ini. Sudah saatnya LHKPN tak hanya menjadi kewajiban administratif, tetapi dioptimalkan untuk mendorong pemberantasan korupsi di negeri ini.