JAKARTA, KOMPAS — PT Freeport Indonesia telah membangun sistem pengangkutan kereta api bawah tanah di area operasi tambang perusahaan di Timika, Papua. Infrastruktur tersebut dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi emas dan tembaga dari aktivitas penambangan bawah tanah.
Produksi emas dan tembaga dari Timika akan memengaruhi aliran kas perusahaan.
CEO Freeport McMoran Inc Richard Adkerson, dalam siaran pers, Senin (4/2/2019), mengumumkan rencana optimalisasi penambangan bawah tanah di wilayah operasi tambang Timika, Papua. Freeport akan meningkatkan produksi dari dua tambang bawah tanah dan ditargetkan pada 2021 produksinya dua kali lipat dari produksi tahun ini.
Freeport menyatakan berhasil mengatasi persoalan seismik akibat aktivitas penambangan bawah tanah.
”Sistem jalur kereta pengangkutan bijih bawah tanah yang canggih serta infrastruktur yang diperlukan bagi kegiatan penambangan bawah tanah telah dibangun. Persiapan transisi menuju penambangan bawah tanah telah dimulai lebih dari 15 tahun lalu,” papar Richard.
Selama masa transisi menuju penambangan bawah tanah, produksi bijih Freeport diperkirakan turun menjadi 60 persen. Sepanjang 2017, produksi bijih Freeport di Timika 140.000 ton per hari. Namun, pada 2021 produksi bijih diproyeksikan kembali normal seiring optimalisasi penambangan bawah tanah. Penambangan bawah tanah dilakukan setelah cadangan bijih di permukaan atau dikenal sebagai area Grasberg habis.
Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antarlembaga PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum Rendi A Witular mengatakan, investasi penambangan bawah tanah diperkirakan 750 juta dollar AS per tahun. Namun, Inalum selaku pemegang saham tidak mengeluarkan dana untuk investasi penambangan bawah tanah itu. Investasi ditanggung Freeport McMoran Inc sepenuhnya.
”Sampai dengan 2041, total investasinya 15 miliar dollar AS terhitung mulai 2021. Artinya, setiap tahun perlu 750 juta dollar AS. Inalum tidak mengeluarkan dana untuk investasi tambang bawah tanah itu,” ujar Rendi.
Ketua Indonesia Mining Institute Irwandy Arif berpendapat, tantangan terbesar pada masa transisi atau peralihan dari penambangan terbuka menuju penambangan bawah tanah adalah menjaga tingkat produksi konsentrat. Produksi konsentrat berpengaruh langsung terhadap penerimaan perusahaan. Konsentrat adalah hasil pengolahan mineral mentah (bijih) sebelum sampai tahan pemurnian mineral.
”Penerimaan perusahaan terganggu jika target produksi meleset akibat persoalan teknis, seperti gangguan batuan lunak dan basah, atau gangguan seismik. Semoga tidak terjadi sehingga arus kas perusahaan tidak terganggu,” katanya.
Pada 21 Desember 2018, Inalum telah menuntaskan pembayaran pembelian saham Freport senilai 3,85 miliar dollar AS atau hampir Rp 60 triliun. Dengan pembelian itu, kepemilikan Indonesia pada Freeport naik, dari semula 9,36 persen menjadi 51,23 persen.
Dari angka itu, Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Mimika memiliki saham 10 persen.
Pembayaran divestasi saham tersebut sekaligus menandai perubahan status operasi Freeport dari kontrak karya (KK) menjadi IUPK. Penerbitan IUPK oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sekaligus memberi jaminan perpanjangan operasi Freeport sampai dengan 2041 serta jaminan fiskal dan regulasi yang stabil. Berdasarkan kontrak karya, operasi Freeport di Mimika berakhir pada 2021 dan dapat diperpanjang dua kali, masing-masing 10 tahun.
Divestasi saham pemegang IUPK diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam regulasi itu, perusahaan tambang asing harus melepaskan saham sedikitnya 51 persen kepada peserta Indonesia sejak berproduksi di tahun ke-10. Operasi Freeport di Papua sesuai kontrak karya akan berakhir pada 2021. (APO)