Optimalkan Penyerapan Minyak Kelapa Sawit di Dalam Negeri
Oleh
M Fajar Marta
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Secara total, ekspor minyak kelapa sawit pada 2018 meningkat delapan persen dibandingkan tahun lalu, yaitu dari 32,17 juta ton menjadi 34,71 juta ton. Namun, sebenarnya sejak Oktober 2018 ekspor kian menurun. Maka, guna menyerap produksi minyak kelapa sawit, implementasi secara penuh harus diberlakukan terhadap kebijakan B20 atau pencampuran 20 persen biodiesel ke dalam setiap liter solar.
“Harga rata-rata CPO tahunan juga menurun 17 persen, dari 714,3 dollar AS per metrik ton (2017) menjadi 595 dollar AS per metrik ton (2018). Penurunan ini disebabkan oleh melimpahnya stok minyak nabati dunia, termasuk minyak kelapa sawit di Indonesia dengan stok akhir mencapai 3,26 juta ton,” kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono, di Jakarta, Rabu (6/2/2019).
Hal ini mengemuka dalam konferensi pers Gapki dengan tema “Refleksi Industri Kelapa Sawit 2018 dan Prospek 2019”. Lebih lanjut, Joko menyampaikan, perang dagang antara Amerika Serikat dan China, daya beli yang lemah akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi dan penerapan regulasi di beberapa negara tujuan ekspor juga turut andil dalam penurunan harga.
Berdasarkan data yang diolah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Badan Pusat Statistik, Gapki, Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni), Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin), Asosiasi Industri Minyak Makan Indonesia (Aimmi), dan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS), ekspor total minyak kelapa sawit menurun sejak tiga bulan terakhir di 2018. Dari 3,35 juta ton (Oktober) menjadi 3,22 juta ton (November) dan kembali menurun hingga 3,13 juta ton di akhir tahun.
Penurunan ekspor minyak kelapa sawit dan produk turunannya pada periode 2017 ke 2018, tercatat ke India (12 persen), negara-negara Timur Tengah (9 persen), Uni Eropa (5 persen). Khusus untuk India, Joko menyampaikan, penurunan merupakan akibat dari kebijakan pemerintah India yang menaikan bea masuk impor minyak kelapa sawit hingga 44 persen dan produk turunannya 54 persen.
Meski demikian, dalam periode yang sama, ekspor minyak kelapa sawit dan produk turunannya meningkat ke beberapa negara. Antara lain, China (18 persen), Bangladesh (16 persen), negara-negara Afrika (13 persen), Pakistan (12 persen), dan Amerika Serikat (3 persen).
“Ini membuktikan Indonesia cukup berhasil dalam mendiversifikasi pasar tradisional. Inilah yang harus terus dikembangkan agar kita memiliki banyak pilihan pasar sebagai antisipasi agar ekspor tetap terjada baik dari segi volume maupun nilai,” kata Joko.
Sebelumnya, Kementerian Perdagangan mengumumkan, harga minyak kelapa sawit menguat 12,34 persen pada Februari 2019 menjadi 565,40 dollar AS per metrik ton dibandingkan bulan lalu. Terkait peningkatan harga, Joko memperkirakan harga akan terus meningkat hingga 570 dollar AS per metrik ton pada semester awal.
“Yang penting adalah kita memastikan faktor yang bisa mempengaruhi pembentuk harga, yaitu penerapan biodiesel ini enggak boleh meleset agar penyerapan produksi dalam negeri menjadi optimal,” ujar Joko.
Pasar domestik
Ketidakpastian perekonomian global yang masih terus membayangi di 2019, membuat ekspor serta harga minyak kelapa sawit tidak dapat dipastikan. Joko menilai, faktor yang bisa dikalkulasi, yaitu jika biodiesel diimplementasikan secara penuh, akan menyerap produksi minyak kelapa sawit hingga 6 juta ton per tahun.
“Kalau kebijakan program B20 bisa dijalankan secara optimal di 2019, maka penyerapan pasar domestik akan lebih besar dibandingkan 2018. Sebagai awal pengimplementasian kebijakan, program B20 mampu menyerap hingga 4 juta ton,” kata Joko.
Dampak positif dari kebijakan B20, yaitu mengurangi impor bahan bakar minyak solar dan menghemat devisa. Dengan kebijakan percepatan penggunaan B20, konsumsi biodisel per bulan diperkirakan mencapai 500.000 sampai 600.000 juta kilo liter. Maka, konsumsi biodiesel di dalam negeri per tahun diperkirakan mencapai 6 juta kilo liter.
Dengan penggunaan B20, pemerintah diperkirakan dapat menghemat devisa dari impor solar sekitar 4 miliar dollar AS. Kebutuhan solar di dalam negeri mencapai 33 juta kilo liter per tahun. (Kompas, 8 Januari 2019)
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Utama BPDP-KS Dono Boestami menyampaikan hal senada. Namun, Dono menilai, ketiadaan basis produksi menyulitkan para pelaku usaha untuk merencanakan penyerapan produksi.
“Kita enggak ada yang tahu basis produksi itu berapa, maka kami mencoba untuk membuat proyeksi dengan data yang diperoleh saat ini, sampai nanti benar-benar diketahui angkanya. Formula yang dipakai pun berasal dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian,” ujar Dono.
Proyeksi produksi minyak kelapa sawit diperkirakan mencapai 42,14 juta ton (2019) dan meningkat menjadi 44,63 juta ton (2020). Bahkan di tahun 2025, Dono mengatakan, produksi diperkirakan mencapai hingga 55,28 juta ton. “Ini yang menjadi pekerjaan rumah kita, bagaimana kita bisa menyerap produksi yang begitu besar,” katanya.
Penerapan biodiesel
Salah satu solusinya, selain pengimplementasian program B20 secara penuh di dalam negeri, Dono menyampaikan, biodiesel juga mulai dilirik oleh pasar luar. Misalnya, Malaysia yang menerapkan B10, serta China dan Thailand yang mulai menerapkan B5. Ada pula pasar lain yang belum sepenuhnya dikembangkan, yaitu India, Pakistan dan Bangladesh.
Selain itu, Gapki juga mendorong percepatan program B30. Ketua Ketua Harian Aprobi Paulus Tjakrawan mengatakan, akan segera melaksanakan uji coba program B30 di sepanjang 60.000 kilometer dengan delapan kendaraan.
“Uji coba ini rencananya akan dilakukan di daerah yang mewakili jalan tol dan tidak tol, dataran tinggi (Bandung dan Guci) dan dataran rendah. Dalam prosesnya, kami melibatkan ESDM/EBTKE, Perindustrian, Pertamina, Lemigas, BPPT, ITB. GAIKINDO, BPDP dan Aprobi yang sudah berpengalaman menguji B20 sebelumnya,” ujar Paulus.
Sebagai penutup, Joko menyampaikan, pasar domestik penting untuk membangun keseimbangan sehingga posisi tawar Indonesia lebih kuat dalam perdagangan global. “Ini sesuatu yang bagus, kita memperkuat pasar domestik dan tetap menjaga serta mengembangkan ekspor. Sebab, ekspor juga penting bagi devisa kita,” ujarnya.