Paus Fransiskus Bersedia Jadi Penengah di Antara Pihak yang Berkonflik di Venezuela
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
ABU DHABI, RABU — Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik Paus Fransiskus, Selasa (5/2/2019), menyampaikan, Vatikan bersedia menjadi pihak penengah untuk membangun diskusi antara pihak pemerintah dan oposisi yang tengah berkonflik di Venezuela. Vatikan bersedia memenuhinya selama kedua pihak memintanya.
Sejauh ini, baru Presiden Venezuela Nicolas Maduro yang mengajukan permohonan tersebut kepada Paus.
Kesanggupan Vatikan sebagai penengah dalam konflik Venezuela itu disampaikan Paus kepada wartawan pada Selasa saat perjalanannya kembali ke Roma, Italia, seusai kunjungan pertamanya di Uni Emirat Arab.
Paus mengungkapkan, sejumlah langkah kecil perlu dilakukan dalam memulai negosiasi diplomatik dan meredakan konflik di Venezuela. Salah satunya mendekatkan kedua pihak yang berkonflik.
Dalam wawancara yang disiarkan televisi, Senin (4/2/2019), Presiden Maduro mengungkapkan, pihaknya telah mengirim surat permohonan bantuan kepada Paus untuk memfasilitasi dialog antara pihaknya dan oposisi yang diketuai Juan Guaido.
Pada akhir Januari 2019, Guaido, yang juga Ketua Majelis Nasional, mendeklarasikan dirinya sebagai Presiden Venezuela dan memperoleh pengakuan serta dukungan dari sejumlah negara Barat dan Amerika Latin. Sejak itu, Maduro mendapat tekanan dari dalam dan luar negeri untuk turun dari jabatannya.
Paus mengaku telah menerima surat dari Maduro, tetapi belum membacanya. ”Saya akan membaca surat itu dan melihat apa yang bisa dilakukan. Namun, syarat awalnya adalah kedua pihak meminta (pertolongan saya). Kita bersedia (membantu),” ujarnya.
Baginya, Vatikan dan komunitas internasional memiliki peran dalam mendukung langkah awal proses perdamaian. Peran itu termasuk mencoba mendekatkan satu pihak dengan yang lain supaya proses dialog dapat dimulai.
Sementara itu, Amerika Serikat, Kanada, dan sejumlah negara Eropa menganggap hasil pemilihan Presiden Venezuela yang kembali melantik Maduro sebagai presiden pada awal Januari 2019 itu tidak sah. Mereka mendesak Maduro untuk segera menggelar pilpres baru.
Maduro menolak menggelar kembali pilpres sebelum 2024. Namun, ia setuju mengadakan percepatan pemilu parlemen. Ia juga mendukung rencana pertemuan negara Amerika Latin dan Uni Eropa di Montevideo, Uruguay, pada Kamis (7/2/2019). Sebaliknya, pihak oposisi menolak semua tawaran dialog. (Kompas, 6/2/2019)
Budaya toleransi dan damai
Hari Senin, dalam acara konferensi internasional tentang persaudaraan kemanusiaan yang dihadiri ratusan tokoh agama di Uni Emirat Arab, Paus bersama Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayyeb menandatangani dokumen bersejarah tentang persaudaraan manusia untuk perdamaian dunia dan hidup berdampingan.
Penandatanganan itu dalam rangka mendorong dialog antaragama, kebebasan beragama, melawan ekstremisme, dan mempromosikan perdamaian antara negara, agama, dan ras.
Mengutip dari isi dokumen yang dipublikasikan oleh Vatican News, pihak Vatikan menyerukan kepada para pemimpin dunia untuk kerja keras menyebarkan budaya toleransi dan hidup bersama secara damai; untuk terlibat sejak awal dalam menghentikan pertumpahan darah dan mengakhiri perang, konflik, kerusakan lingkungan, serta degradasi moral dan budaya.
Pesan tersebut juga disampaikan kepada para intelektual, tokoh agama, artis, media, dan seluruh warga di dunia. Semua didorong untuk mempromosikan pentingnya nilai perdamaian, keadilan, kebaikan, dan persaudaraan manusia. Nilai itu penting demi memastikan keselamatan dalam hidup bersama.
Penandatanganan dokumen persaudaraan manusia itu juga menyinggung tentang krisis politik dan situasi ketidakadilan yang menimpa sejumlah negara akibat distribusi sumber daya alam yang tidak merata. Distribusi sumber daya alam yang hanya menguntungkan minoritas yang kaya dan merugikan mayoritas penduduk di bumi telah menghasilkan orang miskin, lemah, dan akhirnya meninggal.
Untuk itu, nilai agama yang mengedepankan prinsip persaudaraan dan perdamaian perlu dibangkitkan kembali, terutama di kalangan generasi muda, melalui pendidikan. Dengan cara ini, dunia dapat menghadapi kecenderungan yang individualis, egois, radikal, dan ekstremis. (REUTERS)