JAMBI, KOMPAS — Manajemen Unit Pengelolaan Terpadu Daerah Taman Rimbo mengaku kewalahan mengelola para satwa penghuni kebun binatang di Jambi itu. Pemerintah Provinsi Jambi didorong untuk mengambil langkah swastanisasi.
Kepala UPTD Taman Rimbo, Taupiq Bukhari, mengatakan pengelolaan kebun binatang itu sulit maksimal karena sejumlah faktor. Di antaranya adalah keterbatasan jumlah maupun keahlian sumber daya manusia di sana.
Ia mencontohkan, dokter hewan yang ditempatkan di kebun binatang itu hanya satu orang. Tenaga dokter yang ada pun belum berpengalaman menangani kasus medis satwa, khususnya satwa liar.
“Kami butuh tambahan dokter ahli, tetapi terkendala keterbatasan dana,” katanya, Rabu (6/2/2019). Prasarana pendukung seperti kandang, lanjutnya, juga belum memadai.
Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi, Rahmad Saleh, menjelaskan telah mengevaluasi pengelolaan di kebun binatang itu secara menyeluruh. Evaluasi berlangsung pada November 2018, sebelum kematian harimau sumatera bernama Ayu (8) dan singa afrika bernama Hiro (11), penghuni kebun binatang setempat. Saat itu, tim sebenarnya sudah mendapati singa Hiro dalam kondisi lemah, karena terus berbaring hampir sepanjang hari.
Namun, belum lagi hasil evaluasi dirumuskan, Hiro sudah telanjur mati pada 19 Januari 2019 . Kematiannya didiagnosis akibat sakit gagal jantung, sebagaimana diberitakan Kompas, (28/1/2019). Menyusul setelahnya, harimau sumatera bernama Ayu mati pada 26 Januari 2019. Diagnosis kematiannya akibat sakit pneumonia alias radang paru.
Menurut Rahmad, hasil evaluasi akan segera disampaikan kepada para pihak. Tujuannya untuk mendapatkan berbagai masukan dan solusi terkait pengelolaan Taman Rimbo yang lebih baik.
Kepala Seksi I BKSDA Jambi Wawan Gunawan menjelaskan, tim evaluasi mendapati persoalan lemahnya manajemen itu telah berlangsung menahun. Indikasi itu terlihat dari, misalnya, pengelola kebun binatang tak memiliki rencana kerja ataupun rencana pengelolaan lingkungan. “Sejak keluar izin sebagai lembaga konservasi pada 2016, pengelola belum membuat rencana kerja lima tahunan (RKLT) maupun rencana kerja tahunan (RKT),” kata Wawan.
Standar operasional juga tak terpenuhi, mulai dari ketersediaan kandang dan dapur yang ideal, dan juga tidak tersedianya klinik untuk merawat satwa sakit. Kebutuhan satwa untuk mendapatkan pemeriksaan kesehatan umum (general check-up) juga tak pernah dilakukan. Idealnya, pemeriksaan kesehatan dilakukan setiap 6 bulan sekali.
Rahmad menambahkan, perihal swastanisasi sebenarnya sudah diusulkan sebelumnya. Namun, usulan itu memerlukan pembahasan lebih lanjut oleh eksekutif dan legislatif di daerah.