Perambahan Terbuka TNGL
Perambahan Taman Nasional Gunung Leuser di Provinsi Aceh masih terus terjadi. Sepanjang 2018, TNGL diperkirakan kehilangan tutupan hutan seluas 807 hektar.
KUTACANE, KOMPAS Perambahan di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser di Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh, masih berlangsung. Perambahan dilakukan secara terang-terangan oleh warga sekitar guna membuka lahan perkebunan.
Pantauan pada Senin-Selasa (4-5/2/2019), perambahan terjadi di kawasan yang berbatasan dengan Desa Batu Hamparan, Kecamatan Lawe Alas. Dari pusat ibu kota Aceh Tenggara, Kutacane, hanya butuh waktu sekitar satu jam untuk tiba di batas taman nasional dengan perkampungan itu.
Di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) tampak hamparan lahan yang sudah ditebangi kayunya. Lima petani terlihat sedang membersihkan lahan. Mereka menebas batang kayu kecil dan semak belukar. Ratusan batang kayu bulat yang telah ditebang bergelimpangan.
Batang pohon itu ditebang menggunakan gergaji mesin. Beberapa pohon yang ditebang itu memiliki ukuran keliling hingga 2 meter. Padahal, butuh waktu puluhan tahun agar pohon tumbuh sebesar itu.
HM, salah satu petani di lokasi itu, mengatakan, pembersihan lahan dilakukan sejak Agustus 2018. Setiap petani membuka lahan 1-2 hektar. Kini, luas area yang telah dibuka sekitar 30 hektar. Areal itu akan dijadikan lahan perkebunan jagung. ”Saya tidak punya lahan, makanya membuka di dalam taman nasional,” katanya.
Ia tahu membuka lahan di dalam taman nasional menyalahi aturan. Namun, karena tidak memiliki lahan, dia tetap nekat merambah. Beberapa kali petugas Balai Badan TNGL meminta perambahan dihentikan, tetapi petani tetap membuka lahan.
Petani lain, KD, mengaku telah menggarap lahan di dalam taman nasional sejak beberapa tahun lalu. Di lahan seluas 3 hektar, dia menanam jagung, cabai, dan palawija. Dia tinggal berhari-hari di pondok kayu yang dibangun di sana. ”Petugas sering datang. Mereka bilang jangan dibuka lagi, cukup yang ini saja,” katanya.
Kepala Bidang Pengelola Taman Nasional Wilayah II, meliputi Aceh Tenggara dan Gayo Lues, Karyadi, saat ditemui di kantornya, mengakui perambahan taman nasional masih terjadi. Pada 2018 mereka menemukan 78 kasus perambahan. Namun, luasan yang dirambah masih dihitung.
Karyadi mengatakan, pihaknya sudah memperingatkan warga untuk menghentikan perambahan. Jika peringatan itu tidak digubris, maka akan dilakukan penegakan hukum.
”Tantangan terbesar bagaimana menyadarkan warga bahwa merusak hutan berakibat buruk bagi mereka,” katanya.
Selama ini, petugas yang jumlahnya hanya 72 orang rutin berpatroli untuk mencegah perambahan. Jika ditemukan perambahan, petugas dengan persuasif meminta warga keluar dari dalam kawasan.
TNGL memiliki luas 625.115 hektar, berada di empat kabupaten, yakni Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Selatan, dan Aceh Barat Daya. Wilayah pengelolaan dibagi dua, seluas 143.836 hektar di bawah Bidang Pengelola Wilayah I (Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya) dan seluas 481.279 hektar berada di bawah Bidang Pengelola Wilayah II (Aceh Tenggara dan Gayo Lues).
Manager Geographic Information System Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh Agung Dwinurcahya mengatakan, pada 2018, TNGL kehilangan tutupan hutan seluas 807 hektar. ”Perambahan dan pembalakan liar menjadi penyebab utama deforestasi di sana,” katanya.
Kayu ilegal disita
Polisi kemarin menyita 69 meter kubik kayu olahan di Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Kayu-kayu yang diduga ilegal itu dibawa menggunakan perahu motor oleh AP (38). AP ditetapkan sebagai tersangka.
(AIN/IDO)