Pertemuan Al-Azhar dan Vatikan Sebarkan Budaya Toleransi
Oleh
Pascal S Bin Saju
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Budayawan dan rohaniwan Katolik, Pastor Franz Magnis-Suseno alias Romo Magnis, menganggap toleransi antaragama di Indonesia selama ini sudah terjalin baik. Indonesia sudah berada di jalan yang benar untuk mewujudkan perdamaian dunia seperti yang disepakati oleh lembaga Islam berpengaruh di dunia, Al-Azhar, dan Vatikan.
Imam Besar Al-Azhar Sheikh Ahmed al-Tayeb dan Pemimpin Gereja Katolik Roma Paus Fransiskus telah menandatangani \'Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama\' di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), Senin (4/2/2019).
Dokumen itu mendorong para pemimpin dunia untuk bekerja sama dalam menyebarkan budaya toleransi, mencegah pertumpahan darah, dan menghentikan peperangan. Juga tercantum kecaman terhadap para pihak yang menggunakan agama untuk melakukan kekerasan, radikalisme, atau terorisme.
Romo Magnis menilai pertemuan kedua tokoh agama tersebut sebagai suatu langkah penting. Ia nilai hal itu sebagai bentuk pertanggungjawaban kedua pihak dalam menjaga perdamaian dan memerangi radikalisme di dunia. Berikut adalah petikan wawancara dengan Romo Magnis di Jakarta, Rabu (6/2) sore.
Bagaimana tanggapan terhadap pertemuan antara Al-Azhar dan Vatikan?
Pertemuan tersebut bisa dikatakan sebagai puncak dari pertemuan-pertemuan sebelumnya. Keduanya memiliki pikiran dan hati yang sama untuk bertanggung jawab atas perdamaian antar-agama. Keduanya menyatakan penolakan terhadap radikalisme dan berkomitmen terus menjaga hubungan baik.
Apa makna di balik pertemuan tersebut?
Saya mengharapkan hal itu bisa memberikan pengaruh positif terhadap hubungan antara gereja Katolik dengan umat Islam sedunia. Meski begitu, kini hubungan antara keduanya sudah dan lebih baik daripada 50 atau 100 tahun yang lalu. Kelompok radikal atau terorisme hanya merupakan kelompok yang kecil. Di Indonesia sendiri hubungan antara Islam dan Katolik jauh lebih akrab.
Apa pengaruh pertemuan tersebut terhadap keberagaman di Indonesia?
Di Indonesia, kita tidak perlu memulai semuanya dari titik nol. Misalnya hubungan antara organisasi Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, umat Kristen Katolik, serta Kristen Protestan sekarang jauh lebih baik. Kami bicara satu sama lain. Kami mengemban tanggung jawab bersama untuk saling terbuka, toleran, dan damai. Baik agama Islam dan lainnya harus merealisasikan aspirasi-aspirasi mereka.
Bagaimana negara seharusnya memanfaatkan pertemuan itu untuk melawan radikalisme?
Teks-teks pertemuan tersebut, terutama teks pernyataan bersama yang ditandatangani, harus dibaca dan dipahami semua pemuka agama di Indonesia. Setelah itu, bisa dirumuskan apa relevansinya bagi Indonesia. Teks ini sangat penting dan bagus.
Artinya, seluruh pemuka agama di Indonesia harus menyebarkan isi dalam teks tersebut kepada para umat?
Kita hendaknya membaca teks itu dan berusaha membuat apa yang ada dalam teks tersebut menjadi nyata di Indonesia. Sekali lagi kita tidak perlu memulai dari titik nol.
UEA menetapkan 2019 sebagai tahun toleransi. Seberapa besar dampaknya?
Ini suatu penetapan yang penting. Mereka ingin melawan pandangan bahwa daerah di Jazirah Arab itu tidak toleran. Menurut saya, penetapan ini disambut sangat baik oleh dunia. Hal itu menjadi suatu dorongan bagi perdamaian. Kita di Indonesia pun sangat mendukung hal itu. Tanpa pernyataan tersebut pun Indonesia akan selalu memperjuangkan dan menyebarkan toleransi.