Pertumbuhan Ekonomi Tertahan Ketergantungan Komoditas Mentah
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2018 yang sebesar 5,17 persen dinilai cukup bagus di tengah situasi ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global. Hanya, laju perekonomian di daerah-daerah yang masih bergantung pada komoditas mentah cenderung melambat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis Rabu (6/2/2019), pertumbuhan ekonomi tahun 2018 lebih tinggi dari tahun 2017 yang sebesar 5,07 persen. Agregat kegiatan ekonomi nasional pada 2018 mencapai Rp 14.837,4 triliun.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pertumbuhan ekonomi tahun 2018 cukup baik kendati masih tertahan laju impor yang lebih tinggi dari ekspor. Akibatnya, faktor pengurang untuk menghitung pertumbuhan ekonomi lebih besar. Selisih ekspor-impor dalam pertumbuhan ekonomi tahun 2018 negatif 0,99 persen.
“Pertumbuhan ekonomi secara tahunan cukup baik, ditopang pertumbuhan konsumsi dan investasi yang lumayan baik. Konsumsi dan investasi juga menjadi motor penggerak ekonomi tahun ini,” kata Darmin di Jakarta, Rabu.
Pada Januari-Desember 2018, konsumsi rumah tangga tumbuh 5,05 persen sehingga menyumbang 2,74 persen terhadap pertumbuhan ekonomi. Sementara sumbangan investasi terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 2,17 persen.
Meski dinilai cukup positif, pertumbuhan ekonomi masih terpusat di Jawa dan Sumatera masing-masing kontribusinya 58,48 persen dan 21,58 persen. Hal itu terjadi karena daerah-daerah selain Jawa dan Sumatera masih bergantung pada komoditas mentah.
Secara terpisah, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance Eko Listiyanto berpendapat, fluktuasi harga komoditas global akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah yang bergantung pada komoditas mentah. Kondisi ini harus diantisipasi pemerintah dengan segera merealisasikan hilirisasi industri.
Mengutip data BPS, pertumbuhan ekonomi di Kalimantan dan Sulawesi tahun 2018 melambat dibandingkan tahun 2017. Pertumbuhan ekonomi Kalimantan melambat dari 4,33 persen (2017) menjadi 3,91 persen (2018), Sulawesi dari 6,99 persen menjadi 6,65 persen.
Adapun perekonomian di Jawa tumbuh dari 5,61 persen (2017) menjadi 5,59 persen (2018), Sumatera dari 4,3 persen menjadi 4,54 persen, serta Papua dan Maluku dari 4,89 persen menjadi 6,99 persen.
Menurut Eko, kondisi itu berkorelasi dengan penurunan harga komoditas global, seperti minyak bumi dan barubara. Selain harga, terjadi penurunan permintaan akibat polemik isu lingkungan, seperti minyak sawit mentah (CPO). “Kenaikan harga komoditas tahun 2019 diperkirakan sangat kecil bahkan cenderung flat. Di sisi lain, permintaan global juga semakin selektif,” katanya.
Dampaklanjutan
Tanpa realisasi industri, lanjut Eko, dampak penurunan harga komoditas dan permintaan global tak hanya pada pertumbuhan ekonomi. Daerah-daerah yang bergantung pada komoditas mentah akan menghadapi risiko peningkatan kemiskinan dan pengangguran. Sebab, mayoritas pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
“Angka kemiskinan bisa naik, tetapi ketimpangan mungkin bisa menurun karena keuntungan yang diperoleh pemilik usaha juga berkurang,” kata Eko.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menambahkan, harga komoditas nonmigas di pasar internasional pada triwulan IV-2018 secara umum menurun baik secara triwulanan atau tahunan. Beberapa harga komoditas nonmigas yang turun, yaitu minyak kelapa, minyak sawit, teh, kedelai, jagung, tambang, alumunium, dan nikel.
Pertumbuhan ekonomi global yang melambat juga memengaruhi kinerja ekspor. Ekspor Indonesia ke negara mitra dagang masih tumbuh positif kendati melambat. Misalnya, ekspor ke China pada triwulan IV-2018 melambat menjadi 6,4 persen dibandingkan triwulan IV-2017 sebesar 6,5 persen. Porsi ekspor ke China mencapai 14,5 persen dari total ekspor Indonesia.
Selain China, ekspor Indonesia juga melambat ke Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura. “Fluktuasi harga komoditas mesti diwaspadai. Pertumbuhan ekonomi harus tetap berkualitas agar sektor-sektor ekonomi bisa menyalurkan banyak tenaga kerja sehingga dampaknya ke penurunan kemiskinan,” ujar Suhariyanto.