Reorganisasi TNI Jangan Sampai Mengembalikan Dwifungsi
Oleh
Khaerudin
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kajian mendalam diperlukan dalam penataan organisasi TNI agar tidak menimbulkan beban anggaran dan postur berlebih di kemudian hari. Penataan organisasi harus berdasarkan fungsi pertahanan negara serta aspek ekonomi. Pemberian jabatan sipil kepada militer aktif karena ketiadaan posisi struktural di TNI dinilai tak sejalan dengan semangat reformasi dan dikhawatirkan mengembalikan era dwifungsi ABRI.
Sebelumnya, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan, dalam struktur sumber daya manusia TNI, ada ratusan perwira menengah menganggur atau tanpa jabatan. Untuk mengatasi hal itu, dilakukan penataan organisasi dengan menyediakan 60 jabatan bagi perwira tinggi. Misalnya, jabatan yang saat ini dijabat brigadir jenderal (brigjen) dinaikkan menjadi mayor jenderal.
Dengan demikian, bawahannya yang tadinya kolonel bisa naik jadi brigjen. Status korem juga dinaikkan sehingga komandannya yang tadinya berpangkat kolonel bisa menjadi brigjen. Selain itu, TNI juga menunggu revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI sehingga usia pensiun bintara dan tamtama bisa dinaikkan dari 53 menjadi 58. Anggota TNI aktif juga akan diberi kesempatan mengisi jabatan di kementerian.
Direktur Imparsial Al Araf, di Jakarta, Rabu (6/2/2019), mengatakan, peningkatan status jabatan dan pangkat tidak sejalan dengan semangat reformasi dalam UU TNI yang mengatur perlunya restrukturisasi komando teritorial. Penempatan TNI aktif pada jabatan sipil dapat mengembalikan dwifungsi ABRI (fungsi sosial-politik) yang sudah dihapus sejak Reformasi.
Militer aktif hanya menduduki jabatan yang terkait dengan fungsi pertahanan seperti kementerian pertahanan.
”Tidak sejalan dengan agenda reformasi TNI dan dapat mengganggu tata sistem pemerintahan yang demokratis. Reformasi TNI mensyaratkan militer tidak lagi berpolitik. Tidak menduduki jabatan politik seperti di DPR, gubernur, bupati, dan jabatan di kementerian,” ucap Al Araf.
”Militer aktif hanya menduduki jabatan yang terkait dengan fungsi pertahanan seperti kementerian pertahanan, kemenko polhukam, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, Lemhannas, dan Dewan Pertahanan Nasional,” lanjutnya.
Perluasan militer aktif bisa menduduki jabatan lain, kata Al Araf, perlu dikaji dan dipertimbangkan ulang karena tidak sejalan dengan agenda reformasi dan mengembalikan dwifungsi yang sudah dihapus.
Al Araf menyebutkan, perpanjangan masa pensiun juga perlu dikaji lebih mendalam sebelum diputuskan. Penambahan masa pensiun dapat menimbulkan beban anggaran di sektor pertahanan dan kelebihan jumlah prajurit. Saat ini, beban anggaran pertahanan 40-50 persen digunakan untuk gaji prajurit.
”Perlu dikaji efektivitasnya. Indonesia sangat membutuhkan peningkatan kesejahteraan prajurit dan penguatan alutsista di tengah anggaran yang terbatas,” katanya.
Wakil Direktur Imparsial Ghufron Mabruri menyarankan agar penataan organisasi TNI dalam promosi dan jabatan harus berbasis pada kompetensi (merit system).
Selain itu, lanjutnya, perlu juga melanjutkan program zero growth dalam mengatasi kesenjangan antara perekrutan dengan struktur dan jabatan yang dimiliki TNI. Perekrutan personel perlu menyesuaikan dengan jumlah personel yang pensiun.
Selain itu, juga dengan memperkuat kesatuan dan unit yang memiliki fungsi tempur untuk perang, seperti Kostrad, armada laut, ataupun komando pertahanan udara. Penambahan fungsi tempur akan berimplikasi pada jabatan baru dan pangkat yang lebih sesuai dengan fungsi pertahanan.
Perang modern mengutamakan teknologi dan kualitas. Negara-negara berlomba memperkuat keamanan sibernya.
”Penataan organisasi TNI perlu dikaji secara mendalam sehingga tepat sasaran dan menghasilkan kebijakan berkelanjutan demi penguatan sesuai fungsinya sebagai alat pertahanan negara. Rencana kebijakan itu juga tidak boleh bertentangan dengan agenda reformasi TNI,” tutur Ghufron.
Pertahanan baru
Tidak mudah melaksanakan reformasi menuju TNI yang profesional. Pasalnya, walaupun TNI ingin menjadi profesional, banyak faktor eksternal yang memengaruhi.
Anggota Dewan Pakar Habibie Center, Indria Samego, menyebutkan, reorganisasi TNI harus dimulai dari persepsi tentang pertahanan baru. Lalu, ditentukan postur pertahanan yang dibutuhkan sehingga dapat ditentukan organisasi dan sumber daya manusia.
”Selama ini, TNI banyak orientasi ke pertahanan di darat dan manusia. Padahal, zaman sudah berubah di mana teknologi memegang faktor penting. Dengan pemikiran bahwa saat ini dunia telah masuk dalam era Revolusi Industri 4.0 itulah organisasi TNI dibentuk,” ucap Indria.
Al Araf mengatakan, dinamika pertahanan dunia mengutamakan teknologi dan kualitas personel yang profesional. Hal tersebut berbeda dengan dahulu yang berorientasi kuantitas. Banyak negara yang menata militernya ke arah kualitas personel.
Ia mencontohkan Belanda yang melikuidasi batalyon tank Leopard karena beban anggaran dan efektivitas. Adapun Amerika Serikat dan Inggris terus mengembangkan divisi perang siber.
”Perang modern mengutamakan teknologi dan kualitas. Negara-negara berlomba memperkuat keamanan sibernya. Indonesia juga membangun, tetapi militer tidak memerangi hoaks,” lanjutnya. (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY)