RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk Lindungi Semua Warga Negara
Oleh
Sonya Hellen Sinombor
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Antikekerasan terhadap Perempuan dan jaringan organisasi perempuan di Tanah Air terus mengawal proses legislasi Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, agar tahun ini segera disahkan menjadi undang-undang. Pengesahan rancangan undang-undang tersebut tidak bisa lagi ditunda-tunda.
Kehadiran undang-undang yang mengatur penghapusan kekerasan seksual sangat berarti, tidak hanya bagi para korban kekerasan seksual tetapi juga untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia dari ancaman kekerasan seksual. Tanpa ada aturan perundang-undang yang mengatur hal-hal terkait kejahatan seksual, siapa saja perempuan, anak perempuan dan laki-laki, disabilitas, dan kelompok rentan bisa berpotensi menjadi korban kekerasan seksual.
Masyarakat diharapkan mendukung proses legislasi RUU tersebut, dan tidak terpengaruh oleh berbagai isu yang dilemparkan kelompok tertentu yang tidak menginginkan RUU tersebut disahkan menjadi UU. Masyarakat harus memahami bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual lahir dari pengalaman korban yang mengalami penderitaan berkepanjangan tanpa mendapatkan keadilan dan pemulihan karena ketiadaan payung hukum atas kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi
Harapan terhadap DPR dan pemerintah untuk mempercepat pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi undang-undang, Rabu (6/2/2018), disuarakan oleh organisasi-organisasi perempuan di Jakarta, dalam kegiatan yang terpisah.
Selain Jaringan Kerja Program Legislasi Nasional Pro Perempuan (JKP3), Komisi Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), serta perempuan pekerja yang tergabung dalam Posko Pembelaan Buruh di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, juga menyuarakan mendesaknya UU Penghapusan Kekerasan Seksual.
“Masyarakat harus mengetahui bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk mengisi kekosongan hukum terkait bentuk-bentuk kekerasan seksual yang selama ini tidak diakui oleh hukum,” ujar Ratna Batara Munti, Koordinator JKP3 di Kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta.
Ratna bersama Inayah Wahid (penggerak keberagaman), Riska Carolina (Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia/PKBI), dan Andi Komara (LBH Jakarta) menyerukan kepada masyarakat agar tidak disesatkan oleh sejumlah informasi yang disebarkan melalui media sosial, yang tidak didukung oleh fakta-fakta yang kuat.
Inayah menegaskan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang menjadi inisiatif DPR justru menjadi harapan karena akan memberi akses keadilan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual serta pencegahannya. Inayah mengecam seruan petisi untuk menolak RUU tersebut dengan berbagai informasi-informasi provokatif.
Jangan terpengaruh
Seruan kepada masyarakat untuk tidak terpengaruh dengan isu-isu hoaks yang tujuannya mempengaruhi masyarakat untuk menolak RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga disampaikan Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu, dan tiga komisioner lainya Mariana Amiruddin, Sri Nurherwati, dan Masruchah, Rabu petang.
“Pihak-pihak yang melakukan pembohongan publik dengan menyebarkan informasi yang tidak benar tentang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual supaya segera menghentikan tindakannya, supaya situasi yang kondusif untuk penghapusan kekerasan seksual di Indonesia di tengah kondisi yang darurat kekerasan seksual ini, dapat diupayakan,” ujar Azriana.
Para perempuan pekerja di KBN Cakung juga menyatakan pentingnya RUU tersebut karena selama ini para pekerja rawan mengalami pelecehan seksual. Jumisih, Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP) mengungkapkan pelecehan seksual adalah satu dari sembilan jenis kekerasan seksual yang masuk dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Berdasarkan Studi tentang Pelecehan Seksual pada Buruh Garmen Perempuan di KBN Cakung (Perempuan Mahardhika, 2017), ditemukan, 56,5 persen buruh garmen perempuan pernah dilecehkan dan 94,0 persennya tidak melapor dengan alasan takut, malu, menganggapnya sebagai hal wajar dan bagian dari resiko pekerjaan. Kondisi ini menyebabkan kejahatan kekerasan seksual sulit diungkap.