SURABAYA, KOMPAS — Pemerintah Kota Surabaya mendorong pedagang toko kelontong untuk meningkatkan profesionalitas dalam melakukan usaha. Profesionalitas diperlukan agar toko kelontong mampu bersaing dengan minimarket berjejaring yang kian menjamur.
”Saya ingin pedagang toko kelontong di Surabaya bisa berjaya di kotanya sendiri, bukan minimarket berjejaring dari daerah lain,” kata Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini saat memberikan pelatihan kepada 530 pedagang toko kelontong di Surabaya, Jawa Timur, Rabu (6/2/2019).
Oleh sebab itu, Pemkot Surabaya terus memberikan pendampingan dan pelatihan secara rutin kepada 1.200 pemilik toko kelontong yang tersebar di seluruh Surabaya. Pendampingan itu diperlukan agar toko kelontong bisa lebih profesional mengelola toko dan mampu bersaing dengan minimarket berjejaring.
Saya ingin pedagang toko kelontong di Surabaya bisa berjaya di kotanya sendiri, bukan minimarket berjejaring dari daerah lain.
Menurut Risma, saudagar toko kelontong seharusnya tidak kalah bersaing dengan minimarket berjejaring. Dari segi biaya operasional, toko kelontong dinilai lebih rendah karena tidak membutuhkan banyak pegawai dan promosi seperti minimarket berjejaring.
Dari sisi harga, barang di toko kelontong di Surabaya bisa lebih murah daripada minimarket berjejaring. Sejak dua tahun lalu, pihaknya sudah menginisiasi pembentukan koperasi toko kelontong. Koperasi ini membuat pedagang bisa membeli barang kulakan dari distributor dengan harga yang lebih murah karena pembelian dilakukan secara bersama-sama oleh anggota koperasi dalam jumlah banyak.
”Jika membeli barang dengan jumlah banyak, harganya bisa lebih murah daripada membeli sendiri-sendiri. Kami ingin harga di toko kelontong bisa bersaing,” ucap Risma.
Selain itu, pemilik toko kelontong juga diberikan pelatihan dalam mengembangkan usahanya. Beberapa di antaranya penataan etalase barang dagangan, penambahan barang dagangan, pencatatan keuangan, serta promosi untuk menarik pelanggan. ”Toko kelontong harus bisa bertahan menghadapi perubahan zaman,” katanya.
Sebagai salah satu kota metropolitan, penduduk di kota ini selalu bertambah. Oleh karena itu, lanjut Risma, permintaan terhadap barang-barang diperkirakan ikut tumbuh. Pedagang toko kelontong harus mengambil peluang tersebut serta jangan sampai kalah bersaing dengan minimarket berjejaring dalam memperebutkan pembeli.
Surabaya, lanjut Risma, juga mengeluarkan aturan untuk melindungi toko kelontong di tengah gempuran minimarket berjejaring. Risma mengeluarkan peraturan daerah yang mengatur lokasi minimarket berjejaring agar tidak terlalu dekat dengan toko kelontong dan pasar tradisional.
Aturan itu menyebutkan, minimarket berjejaring berjarak minimal 500 meter dari pasar tradisional. Lokasi minimarket harus di jalan yang memiliki lebar lebih dari 8 meter dan memiliki izin usaha toko swalayan.
”Kami secara rutin melakukan operasi untuk memastikan semua minimarket berjejaring mengikuti aturan yang ada,” ucap Risma.
Kepala Dinas Perdagangan Kota Surabaya Wiwiek Widayati menambahkan, pihaknya terus mengajak pemilik toko kelontong ikut koperasi. Dari 1.200 toko kelontong di Surabaya, baru sekitar 600 toko kelontong yang ikut koperasi. Mereka tersebar di tujuh kecamatan, yakni Rungkut, Genteng, Sawahan, Sambikerep, Tambaksari, Krembangan, dan Tenggilis.
”Jika ikut koperasi, mereka bisa mendapatkan harga barang lebih murah karena memotong rantai distribusi. Barang dibeli langsung dari distributor pertama dengan harga yang lebih murah,” kata Wiwiek.
Sekretaris Koperasi Rungkut Makmur Sejahtera, Sutik (48), mengatakan, barang-barang dagangan yang bisa dibeli melalui koperasi antara lain beras, gula, minyak goreng, dan mi instan. Harga yang diperoleh lebih murah hingga 20 persen dibanding membeli di distributor barang lain sebelum dia mengikuti koperasi. ”Dalam sebulan, omzet koperasi mencapai Rp 60 juta,” ujarnya.