Tugas Berat Indonesia Tampilkan Islam Jalan Tengah
Oleh
Khaerudin
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Indonesia dinilai memiliki beban berat dalam menampilkan Islam jalan tengah atau yang membawa rahmat bagi alam semesta. Islam Indonesia harus membuka kesempatan pengambilan keputusan hukum atau fatwa yang segar serta menjaga nasionalisme dengan mendudukan kepentingan kewarganegaraan.
Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhamadiyah Ahmad Syafii Maarif berpendapat, kondisi keislaman saat ini masih jauh dari rumusan ayat Al-quran yang mengharuskan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil \'alamin). Ini dapat diartikan bahwa Islam harus menjadi agama yang memberi harapan dan optimisme untuk masa depan.
"Islam (saat ini) dikategorikan sebagai sumber kekecewaan, sumber terorisme. Stigmanya sudah semacam itu. Jadi, berat tugas kita untuk menampilkan Islam Indonesia yang rahmatan lil alamin, yang berkemajuan dan bernusantara," kata Syafii dalam seminar pembukaan Halaqah Kebangsaan Cendikiawan dan Ulama Muhammadiyah di Jakarta, Rabu (6/2/2019).
Acara yang diselenggarakan Maarif Institute For Culture and Humanity ini diikuti para cendikiawan, ulama dan pengurus Muhammadiyah, serta masyarakat lintas komunitas dan agama.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Amin Abdullah mengatakan, pada kesempatan yang sama, Indonesia telah memiliki modal untuk menghadirkan islam jalan tengah (wasatiyyah) atau yang membawa rahmat bagi alam semesta. Modal itu dikuatkan dengan ideologi Pancasila.
"Islam jalan tengah Indonesia beda dengan yang ditawarkan yang lain, karena empat elemen. Elemen itu modal sosial dan kultural, dalam hal ini bhineka tunggal ika; konstitusi kita dalam Undang-Undang Dasar 1945; masyarakat sipil muslim, kita punya 80-an organisasi muslim, antara lain Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU); lalu dari segi pendidikan," tuturnya.
Sayangnya, perkembangan sosial yang pesat akibat reformasi dan globalisasi menghalangi modal tersebut. Hal ini ditemukan dari berkurangnya sikap toleransi dalam pendidikan Indonesia dalam berbagai survei. Selain itu, kemunduran nasionalisme yang kian terkikis dengan masuknya ideologi dari luar dan kewarganegaraan global.
"Untuk mengantisipasi perkembangan sosial yang demikian pesat saat ini, para ulama fikih dan pemimpin muslim di seluruh dunia harus melakukan ijtihad (pengambilan keputusan hukum dan atau fatwa) yang segar," katanya berpendapat.
Ijtihad yang segar perlu dilakukan untuk membahas keberagamaan manusia muslim era posmodern, menurutnya. Hal ini untuk memperbaharui ijtihad dalam setiap periode yang dilalui oleh sejarah kebudayaan Islam, mulai dari klasik, tengah, modern, dan kini posmodern. Ijtihad ini harus membuat nyaman dan aman pengikut agama lain dan budaya lokal lainnya dalam beragama dan bernegara.
"Yang perlu didudukkan di Indonesia adalah (fikih) al muwathonah atau kewarganegaraan. Ini saya kira perlu jadi salah satu target yang dirumuskan lebih lanjut penjelasannya, khususnya oleh peserta Halaqah," ujarnya.
Untuk kembali menonjolkan kewarganegaraaan yang berdasarkan nasionalisme, Staf Khusus Kepresidenan Bidang Keagamaan Internasional Siti Ruhaini Dzuhayatin menambahkan, masyarakat perlu pintar mengelola identitas yang beragam. Hal ini mengingat, setiap individu masyarakat Indonesia memiliki beragam identitas, baik dari suku hingga agama.
"Saat kita berbicara identitas sosial, kita ditantang untuk mengatur dan mengelola identitas yang beragam secara harmonis, apakah itu identutas agama atau ras. Kemampuan ini perlu agar ketika kita bicara identitas islam, keindonesiaan kita tidak tersingkirkan," tuturnya. (ERIKA KURNIA)