”Yak Apa Rek, Isih Urip Awakmu”
Di Surabaya pernah eksis sekitar 600 kelompok ludruk. Mereka mengamini ungkapan ”NKRI harga mati, ludruk harga diri”. Tersisa kurang dari 40 kelompok pada tahun 2018, inikah garis nasib harga diri arek Surabaya?
Serangan nyamuk tak membuat jengkel sekitar seratus remaja dan muda-mudi jelang pukul 20.00 pada 21 Januari 2019 di Waroeng Mbah Cokro, Jalan Raya Prapen, Surabaya, Jawa Timur.
Dinding anyaman bambu, bangku dan meja bambu reyot berderit, lantai tanah agak becek, lesehan di karpet atau terpal, plus penerangan remang-remang tak kuasa membuat pengunjung kecewa.
Kami bertahan. Menyantap kudapan ndeso serta menyeruput minuman tradisional, dihibur lantunan, lawakan, dan ludrukan suroboyoan, lebih hakiki daripada mengomeli keadaan. Semua itu justru menjadi energi.
Di antara sate usus, sate kikil, sate telur puyuh, nagasari, tahu-tempe bacem, ote-ote (bala-bala), jemblem, pisang goreng, mi goreng, kopi, jahe, wedang uwuh, temulawak, sekoteng, dan angsle, pasti ada yang bisa dipilih untuk mengganjal perut. Harga Rp 2.000-Rp 10.000 per porsi ramah bagi isi dompet.
Di depan ada panggung papan rendah berlatar kain dengan tirai yang disingkap dan ditutup manual. Hiburan diawali alunan ”Selamat Ulang Tahun” grup rock Jamrud. Setelah itu, ucapan ulang tahun ke-3 untuk kelompok Ludrukan Nom-noman Tjap Arek Suroboio (Luntas) dari para pegiat seni.
Hingga lewat tengah malam, kami dihibur habis-habisan syukuran ulang tahun Luntas. Cak Suro melantunkan campursari campur reggae ditambah lirik kasar, celometan, dan umpatan.
Lagu ”Nggapleki” dan ”Jangkrik” mungkin memanaskan telinga. Padahal, itu mungkin pujian yang dipelesetkan. Masih belum cukup. Ada pula banyolan lagu-lagu pelesetan Cak Blangkon dan lawakan Dedi Gigis serta Nopek yang sarkastis dan sinis.
Saat tubuh digempur kantuk, ledakan yang ditunggu muncul: lakon Misteri Orang Ke-3 oleh Luntas. Keheningan hancur berkeping-keping karena ledakan energi tawa.
”Kami menyebut pementasan ini ludrukan karena ingin lebih bebas dari pakem,” ujar Robets Bayoned, sutradara dan Koordinator Luntas. Kelompok ini didirikan pada 21 Januari 2016.
Meski tak semeriah era 1980-2000, ludruk bertahan. Catatan Luntas, ada 37 kelompok ludruk yang 10 di antaranya digerakkan kaum muda. Penelitian James Lowe Peacock (1964), di Surabaya pernah eksis lebih dari 590 kelompok.
”Jogo Suroboyo”
Pada hari yang lain, 20 Januari 2019, pukul 11.00, lakon Jogo Suroboyo dipentaskan oleh Perkumpulan Kesenian Ludruk Irama Budaya Sinar Nusantara di panggung Gedung Kesenian Balai Pemuda, Surabaya.
Tata panggung dan latar diisi properti jamak (karung, kawat, pagar, kostum) serta layar film seputar Pertempuran Surabaya. Sekitar satu jam, peludruk usia SD beradu akting dengan remaja, dewasa, senior, dan orang tua.
Kepala Kepolisian Kota Besar Surabaya Komisaris Besar Rudi Setiawan yang berasal dari Lampung ikut tampil meski kikuk berakting dalam logat suroboyoan.
Di Jatim bagian selatan, ludruk seperti hidup segan mati tak mau.
Joko Gender (46), cucu mendiang Gondo Durasim, sang seniman besar ludruk, mengatakan, seni tradisi ini masih menggeliat di Surabaya. Namun, di Jatim bagian selatan, ludruk seperti hidup segan mati tak mau. Alasan ekonomi dan ditinggalkan penonton menjadi biang kematian.
”Antusiasme masyarakat masih lumayan. Peludruk bukan tidak bisa menyesuaikan kondisi kekinian, melainkan sulit menggantungkan hidup semata dari pementasan,” kata Joko.
Meski demikian, masih ada bolo ludruk yang setia pentas meski tak bergantung hidup dari pementasan. Saderi (74) dari Sidoarjo dan Suparman (65) dari Jombang aktif meludruk memenuhi panggilan hati. ”Kalau tidak main malah gelisah. Terus main meski bayaran rendah,” ujar Saderi.
Untuk pentas rutin, honornya Rp 30.000. Untuk pentas tanggapan tidak rutin, bayarannya Rp 150.000-Rp 200.000. Seni tradisi ini tak bisa lagi diharapkan sebagai gantungan hidup.
”Teman-teman itu kalau tidak pentas malah ngomel sakit encok, nyeri punggung, gelisah. Obatnya cuma pentas,” kata Meimura, Sekretaris Irama Budaya Sinar Nusantara, seusai pementasan Jogo Suroboyo yang disutradarainya.
Secara terpisah, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan telah menganggarkan Rp 702 juta untuk bantuan pementasan 33 kelompok ludruk. Kini, setiap pementasan kelompok ludruk mendapat bantuan Rp 13 juta.
Ahh... masih ada harapan harga diri arek Surabaya terjaga. Itu seperti sapaan khas arek ketika bertemu teman karib. ”Yak apa Rek, isih urip awakmu” (Sobat, ternyata kamu masih hidup). Jan…!