Diteror ”Voldemort” Saat Liputan
Semasa masih belum resmi diangkat dan berstatus sebagai calon wartawan, saya kaget mendapati fakta bahwa tokoh penyihir jahat Lord Voldemort tidak sekadar tokoh fiktif dalam novel fantasi Harry Potter. Dalam wujud dan sepak terjang yang berbeda, tokoh itu ada dan saya temui di tempat pertama saya bertugas, yakni di Malang, Jawa Timur.
Semula, keberadaan tokoh tersebut hanya saya dengar samar-samar. Banyak teman dan narasumber bergunjing soal kekuasaannya di Malang. Namun, jarang yang berani mengungkapkan identitasnya dengan jelas. Ketika saya mencoba memperjelas nama si tokoh dan peranannya dalam berbagai kasus, kebanyakan narasumber enggan mengungkapkannya.
Tokoh itu terasa begitu untouchable, pantang disebutkan sembarangan, bahkan dalam bentuk inisial sekalipun. Maka, bagi saya, dialah Voldemort sesungguhnya, si tokoh yang juga disebut ”Kau Tahu Siapa” atau ”Dia yang Tak Bisa Disebutkan Namanya”.
Bulan-bulan pertama bekerja di Malang, keberadaan dia tidak terlalu memusingkan. Namun, keberadaan tokoh tersebut akhirnya tidak bisa diabaikan setelah saya meliput dan menulis berita tentang pernyataan seorang anggota DPRD Kota Malang dalam sebuah acara seminar regional.
Tokoh itu terasa begitu ’untouchable’, pantang disebutkan sembarangan, bahkan dalam bentuk inisial sekalipun.
Si anggota Dewan tersebut berujar soal adanya invisible hand, tangan tak terlihat tetapi sangat berkuasa mengendalikan semua unsur pimpinan di Malang, bahkan konon juga menguasai media.
”Ini tidak bagus karena media massa, kan, seharusnya memegang fungsi kontrol,” ujar si narasumber yang kerap mengomentari kondisi media.
Tokoh tersebut adalah seorang pemodal kaya raya. Namun, siapa namanya? Sama seperti orang-orang sebelumnya yang saya temui, narasumber tersebut hanya tersenyum. Dia bilang, semua orang, termasuk saya, pasti tahu siapa yang dimaksud. Ah, iya, saya lupa. Dia adalah ”You Know Who” alias ”Kau Tahu Siapa”….
Pernyataan narasumber itu kemudian tampil di halaman depan Kompas edisi Jawa Timur. Ketika itu, Kompas masih memiliki lembar daerah, Kompas Jawa Timur. Tulisan itu langsung memancing reaksi banyak orang.
Teman-teman wartawan bertanya kenapa saya begitu berani menulis itu. Beberapa orang memandang saya dengan cemas. Menurut mereka, sang ”Voldemort” bisa melakukan apa saja untuk menentang berita tersebut.
Saya, calon wartawan yang baru beberapa bulan liputan, pun ganti kebingungan. ”Memang kenapa? Toh, saya tidak menyebutkan nama atau identitas apa-apa,” ujar saya waktu itu.
Namun, teman-teman tetap berpikir sebaliknya. Dari cerita-cerita yang saya ketahui belakangan, saya baru tahu bahwa tokoh itu sangat kejam. Dia bisa melakukan apa saja terhadap orang yang tidak disukainya.
”Dia bisa tiba-tiba menyuruh orang untuk melukai orang yang tidak dia sukai atau dinilai merugikan dirinya. Pemberitaan buruk atau menyindir dia termasuk yang tidak dia sukai,” ujar seorang teman.
Saya mulai merinding ketika teman-teman menyebutkan contoh-contoh orang yang dia lukai. Namun, saya berusaha tetap tenang. Apalagi, pimpinan di kantor kemudian meminta saya melanjutkan tulisan tersebut dengan berita-berita lain terkait si tokoh. Saya ganti bersemangat.
Saya kemudian membuat dua berita lagi perihal tokoh tersebut, sementara rekan wartawan lain membuat berita tentang pengakuan sejumlah tokoh lain terhadap kekuasaan si ”Voldemort”.
Semua terasa baik-baik saja, sampai akhirnya suatu pagi tiba-tiba saya dicegat seorang pria bermobil di tepi jalan. Saya yang ketika itu hendak mencegat angkutan umum terkejut karena pria itu mengklakson dan menyapa saya.
”Ayo Mbak, berangkat dengan saya saja. Sekalian saya antar,” ujarnya.
Senyumnya yang lebar dan ceria mengesankan dia orang yang saya kenal baik. Saya sempat merasa bersalah karena melupakan orang tersebut. Namun, pada detik berikutnya, saya merasa benar-benar yakin bahwa saya memang tidak pernah mengenal orang tersebut.
Saya pun menolak ajakannya, tetapi dia terus membujuk. Saya kemudian beralasan harus ke toilet di SPBU seberang jalan. Saya berjalan cepat menjauhi mobil. Pria itu berteriak akan menunggu. Dari balik pintu masuk toilet, saya mengamati mobil itu menunggu 10 menit sampai akhirnya pergi. Barulah saya berani keluar dan mencegat angkutan umum.
Semua terasa baik-baik saja, sampai akhirnya suatu pagi tiba-tiba saya dicegat seorang pria bermobil di tepi jalan.
Hari lain, ketika baru saja naik angkutan umum, saya melihat seorang pria berambut panjang mengetuk jendela dan berkata sesuatu. Saya bingung siapa yang ia ajak bicara. Sesaat kemudian, barulah saya paham, sayalah yang ia maksud karena penumpang lainnya tidur. Untung saja, angkutan umum itu segera melaju. Dari jendela belakang, saya masih bisa melihat pria itu menatap dan membuntuti dengan sepeda motor.
Merasa takut dan panik, saya turun di depan sebuah mal di dekat kompleks perkantoran yang selalu ramai pada siang hari. Saya merasa satu-satunya jalan untuk menghindari orang itu adalah dengan bergabung di keramaian.
Turun dari angkutan, saya langsung berbaur dengan kerumunan dan masuk ke dalam mal. Setelah memastikan situasi aman dan tidak lagi ada yang membuntuti, saya pun memutuskan pulang ke kantor.
Belakangan, saya ketahui bahwa dua narasumber yang saya wawancarai dalam dua berita saya juga diteror. Salah satunya mengungkapkan didatangi seseorang yang kemudian mengancam akan mencelakakan dia. ”Tenang saja, saya tidak takut,” ujarnya.
Dia mungkin tidak takut, tetapi saya mulai gemetaran. Dua kejadian yang menakutkan tersebut membuat saya teringat perkataan seorang teman. Apakah ini tanda-tanda sang ”Voldemort” mulai melancarkan teror dan berencana melukai saya?
Kejadian ini saya ceritakan kepada pimpinan kantor saya di Surabaya. Pimpinan kemudian meminta saya dan dua teman lain di Malang menulis bersama-sama tentang tokoh itu. Beberapa kali kami meminta bertemu dengan orang tersebut, tetapi sulit direalisasikan dengan alasan sedang sibuk.
Baca juga:
Pada akhirnya terjadi dua kali pertemuan. Ia pun mengajukan protes atas tulisan-tulisan yang ia rasa menunjuk dirinya. Namun, karena dalam berita-berita tersebut tidak ada penyebutan namanya, masalah dianggap selesai. Meski demikian, saya masih belum bisa tenang. Butuh beberapa bulan sampai akhirnya saya bisa memastikan semua baik-baik saja.
Peristiwa itu terjadi tahun 2004 dan hingga saat ini masih terekam kuat dalam ingatan saya dan teman-teman wartawan lain di Malang. Suatu kali, si ”Voldemort” kembali muncul di media karena diperiksa dalam sebuah kasus. Salah seorang teman mengunggahberita itu di media sosial, lalu menandai saya karena teringat peristiwa yang pernah menimpa saya.
Rangkaian ini menjadi pengalaman yang tidak terlupakan bagi saya. Kejadian ini juga menyadarkan, sekalipun bukan bertugas di medan perang, pekerjaan menjadi jurnalis tetap membawa risiko fatal. Dari sini saya belajar bahwa menjadi seorang jurnalis harus kuat dan siap menghadapi segala risiko, baik yang terlihat nyata maupun yang tak kasatmata. Contohnya, ancaman dari seseorang yang tak terjamah, seseorang seperti sang penyihir, Lord Voldemort.