Kedua Pasang Kandidat Janjikan Komitmen Energi Terbarukan
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kedua kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden menjanjikan komitmen pada pengembangan energi terbarukan. Namun, komitmen mereka ini masih mengundang sejumlah tanda tanya karena belum sinkron dengan kebijakan masa kini ataupun berpotensi menimbulkan permasalahan baru.
Hal ini mengemuka dalam diskusi yang diadakan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia bersama Greenpeace Indonesia, Kamis (7/2/2019), di Jakarta.
Mereka menghadirkan perwakilan kedua kubu, yaitu Arif Budimana (mewakili Tim Kampanye Nasional Jokowi-Maaruf Amin) dan Ramson Siagian (mewakili Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subiyanto-Sandiaga Uno), serta pemateri Peter Kiernan (Kepala Analis Bidang Energi The Economist Intelligence Unit) dan Alin Halimatussadiah (Kepala Kajian Lingkungan LPEM FEB-UI).
Arif Budimana mengatakan, pihaknya memerlukan masa transisi untuk memanfaatkan energi terbarukan bagi pembangkit listrik. Apabila investasi teknologi energi terbarukan kian murah dan produk listrik yang dihasilkan makin terjangkau, Indonesia bisa sambil beralih ke energi terbarukan itu.
Ramson Siagian mengatakan, kubunya masih konsisten mengembangkan biofuel dari minyak nabati. Ia mengatakan, lahan seluas 80 juta hektar diperlukan untuk penanaman tumbuhan penghasil bahan bakar nabati seperti aren.
Berisiko
”Kedua kandidat punya keinginan untuk ke energi terbarukan, tapi masing-masing memiliki risiko,” kata Alin Halimatussadiah, seusai diskusi.
Demikian pula, Leonard Simanjuntak, Direktur Greenpeace Indonesia, mengatakan, kubu petahana tak bisa menyatakan masa transisi, tetapi tetap membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara. Pembangunan ini akan mengunci pemenuhan target bauran energi 23 persen energi terbarukan pada 2025 karena energi listrik telah terpenuhi dari sumber energi kotor.
Ia pun melihat strategi kubu penantang dalam pengembangan biofuel pun berisiko terhadap hutan Indonesia yang kian tertantang. Ia mempertanyakan luasan 80 juta ha mengingat lahan kritis menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini hanya 20 juta-24 juta ha.
”Itu nanti lahannya dari mana? Dari hutan atau dari kebun? Jangan sampai menimbulkan masalah baru,” katanya.
Sektor hutan hingga kini masih menjadi sumber emisi gas rumah kaca utama disusul energi. Pada 2030 diperkirakan sektor energi yang akan menjadi sumber emisi utama.
Di sisi lain, Indonesia menjanjikan pada dunia untuk menurunkan emisi dalam negeri 29-41 persen pada 2030. Komitmen Indonesia beserta negara-negara lain saat ini juga belum mampu menurunkan arah kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat celsius.