Jam Kerja Pengemudi Transportasi Daring Bakal Diatur
Jam kerja pengemudi ojek berbasis aplikasi daring akan diatur lewat peraturan menteri perhubungan. Pengaturan ini bertujuan mengurangi risiko kecelakaan karena pengemudi kelelahan akibat jam kerja yang terlalu tinggi.
Oleh
Tatang Mulyana Sinaga
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Jam kerja pengemudi ojek berbasis aplikasi daring akan diatur lewat peraturan menteri perhubungan. Pengaturan ini bertujuan mengurangi risiko kecelakaan karena pengemudi kelelahan akibat jam kerja yang terlalu tinggi.
Dalam Pasal 4H Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Perhubungan tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat disebutkan, pengemudi wajib mematuhi ketentuan jam kerja maksimal delapan jam per hari. Selain itu, selama dua jam berturut-turut, pengemudi wajib beristirahat minimal 30 menit.
”Demi keamanan, jam kerja pengemudi perlu diatur. Sebab, faktor kelelahan bisa menyebabkan kecelakaan,” ujar Kepala Subdirektorat Angkutan Perkotaan Kementerian Perhubungan Renhard Ronald dalam uji publik RPM tersebut di Kota Bandung, Jawa Barat, Kamis (7/2/2019).
Uji publik itu dihadiri perwakilan Dinas Perhubungan Jabar dan dinas perhubungan kabupaten/kota di Jabar. Hadir juga puluhan pengemudi ojek daring dari sejumlah komunitas di Bandung dan sekitarnya.
RPM itu terdiri dari 23 pasal dalam sembilan bab. Renhard mengatakan, peraturan itu dibuat untuk memenuhi aspek keselamatan, keamanan, kenyamanan, keterjangkauan, dan keteraturan dalam penggunaan sepeda motor untuk kepentingan masyarakat.
Dalam aspek kenyamanan, misalnya, pengemudi tidak boleh mengangkut orang selain penumpang yang memesan melalui aplikasi. Sementara, pada aspek keteraturan, perusahaan aplikasi wajib menyediakan shelter sebagai tempat pengemudi untuk berhenti, parkir, menaikkan dan menurunkan penumpang.
Dalam aspek kenyamanan, misalnya, pengemudi tidak boleh mengangkut orang selain penumpang yang memesan melalui aplikasi.
RPM juga mengatur formula biaya jasa. Biaya langsung terdiri dari beberapa bagian, di antaranya penyusutan kendaraan, profit mitra, bunga modal, pengemudi, asuransi, bahan bakar minyak, dan pulsa atau kuota internet. Biaya langsung itu dihitung dengan minimal jarak tempuh 5 kilometer. Sementara biaya tidak langsung merupakan jasa penyewaan aplikasi.
Pada Pasal 12 Ayat 6 disebutkan, pedoman perhitungan biaya langsung akan ditetapkan menteri perhubungan. Pada simulasi yang ditampilkan dalam uji publik itu, disebutkan batas tarif bawah Rp 3.100 per km, sementara batas atas Rp 3.500 per km.
”Kami mencari formula bagaimana jam kerja pengemudi tidak terlalu tinggi, tapi penghasilannya tidak berkurang. Jika waktu istirahat pengemudi minim, bisa berbahaya untuk kesehatannya,” ujarnya.
Penyusunan RPM tersebut juga melibatkan perwakilan pengemudi yang diberi nama Tim Sepuluh. Kementerian Perhubungan masih menerima masukan dari sejumlah pihak untuk mematangkan rancangan peraturan itu.
”Rancangan ini masih terbuka untuk kritik dan masukan. Namun, dalam waktu terbatas. Insya Allah akhir Februari atau Maret sudah rampung,” ujar Staf Ahli Bidang Hukum dan Reformasi Birokrasi di Kementerian Perhubungan Umar Aris, seusai membuka uji publik tersebut.
Rancangan ini masih terbuka untuk kritik dan masukan.
Umar mengatakan, rancangan peraturan itu tidak hanya mengatur ojek daring, tetapi juga ojek pangkalan dan becak bermotor. Pengemudi dapat mengenakan biaya jasa sesuai kesepakatan dengan pengguna jasa (penumpang).
Protes
Uji publik RPM itu diwarnai protes puluhan pengemudi ojek daring. Mereka menolak beberapa poin dalam rancangan peraturan itu. Salah satunya terkait batas tarif bawah dan atas hasil simulasi.
”Dengan tarif lebih rendah saja masih sulit mencari penumpang. Apalagi jika tarifnya ditetapkan sesuai simulasi itu,” ujar Saputra (27), pengemudi dari komunitas Ikatan Motor Mobil Online Bandung Raya.
Selain itu, mereka merasa tidak dilibatkan dalam penyusunan RPM itu. Perwakilan buruh dalam Tim Sepuluh juga dinilai tidak representatif untuk mewakili kepentingan pengemudi ojek daring seluruh Indonesia.
”Sabar dulu. Kalau mau dibahas, sebaiknya setelah pemilu (17 April 2019) agar terbebas dari kepentingan politis,” ujarnya. Setelah menyampaikan protes, mereka keluar dari forum uji publik tersebut.
Umar mengatakan, protes tersebut menjadi dinamika dalam uji publik yang merupakan wadah untuk menyosialisasikan rancangan peraturan. ”Kami terbuka dengan masukan-masukan yang membuat RPM ini lebih baik,” ujarnya.