YOGYAKARTA, KOMPAS—Kasus demam berdarah dengue pada tahun 2019 meningkat cukup tajam dibandingkan tahun 2018, di Kota Yogyakarta. Kewaspadaan ditingkatkan sebagai upaya pencegahan penyakit tersebut. Kerjasama untuk membangun sistem pemantauan persebaran nyamuk juga sedang berlangsung.
Wakil Wali Kota Yogyakarta Heroe Poerwadi mengatakan, hingga akhir Januari 2019, terdapat 35 kasus demam berdarah dengue (DBD) di Kota Yogyakarta. Tahun 2018, dalam kurun waktu serupa hanya terjadi 7 kasus DBD. Namun, belum ada yang menderita penyakit tersebut hingga meninggal, pada tahun ini.
“Ini kalau kita membandingkan dengan bulan yang sama tahun lalu. Indikasi peningkatan kasus di awal tahun ini memberikan peringatan agar kita meningkatkan kewaspadaan,” kata Heroe, di Kantor Humas dan Protokol Universitas Gadjah Mada, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (7/2/2019).
Menurut data dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, anak-anak masih menjadi kelompok usia yang rentan terserang penyakit ini, di wilayah itu. Sebanyak 60 persen pasien merupakan anak-anak berusia di bawah 12 tahun.
Heroe menyampaikan, pihaknya telah bekerja sama dengan World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta untuk mengembangkan pencegahan penyakit dengan metode Wolbachia. Namun, langkah itu saja tidak cukup. Pemberantasan sarang nyamuk dengan menguras, menutup, dan membersihkan tempat penampung air juga harus tetap dilakukan.
“Masyarakat dihimbau untuk selalu melihat lingkungannya. Terlebih tempat-tempat yang ada genangan air. Harus selalu ada pembersihan dengan menutup maupun menguruk genangan air itu,” kata Heroe.
Project Leader WMP Yogyakarta Adi Utarini menjelaskan, sejak 2016, pihaknya telah menyebarkan nyamuk yang mengandung bakteri Wolbachia, ke seluruh wilayah Kota Yogyakarta, dan penyebaran tersebut telah diakhiri pada 2017. Bakteri itu diyakini mampu menekan perkembangan virus di tubuh nyamuk yang membuat manusia bisa terkena DBD.
“Saat ini, kurang lebih 90 persen nyamuk yang kami sebarkan itu memiliki Wolbachia. Tetapi, ini masih terus kami teliti. Seberapa efektif bakteri tersebut mencegah penyebaran penyakit ini,” kata Utarini.
Utarini berpesan, dalam melakukan pencegahan penyebaran DBD, kunci kesuksesannya terdapat pada keberlanjutan tindakan pencegahan tersebut. DBD tidak dapat ditangani secara reaktif saja.
“Agar efektif (pencegahan) ini harus dilakukan terus menerus. Sebab, nyamuk Aedes aegypti selalu ada sepanjang bulan. Pemberantasan sarang nyamuk pun harus dilakukan secara serentak di sleuruh wilayah agar kian efektif,” kata Utarini.
Peneliti WMP Yogyakarta Riris Andono Ahmad menyatakan, hal yang membahayakan dari DBD adalah salah satu sifat penyakit itu yang asimtomatik. Beberapa kasus menunjukkan, penderitanya tidak menyadari gejala dari penyakitnya. Kewaspadaan dari keluarga menjadi hal yang penting untuk diperhatikan.
“Penting sekali untuk mengenali bagaimana gejala kemungkinan timbulnya penyakit itu. Lalu, segera saja, datang ke fasilitas kesehatan terdekat untuk melihat gejala-gejala. Kewaspadaan harus ditingkatkan,” kata Riris.
Selain itu, Heroe mengungkapkan, pihaknya sedang menjalin kerjasama dengan tim dari Swedia untuk mengetahui peta persebaran nyamuk demam berdarah di wilayah Yogyakarta. Nantinya akan ada sistem secara daring yang dibuat untuk memperingatkan masyarakat tentang potensi persebaran nyamuk tersebut.
“Nanti, ada peta yang dijalankan dengan sistem online, di mana potensi terjadinya sebaran nyamuk DBD itu akan hidup. Ini sudah hampir 5 tahun berjalan. Semoga ke depan bisa ikut mengantisipasi penyebaran penyakit ini,” kata Heroe.