Proyeksi perekonomian global 2019 mendebarkan. Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini dari 3,7 persen menjadi 3,5 persen. Revisi ini antara lain akibat risiko yang dihadapi perekonomian global, di antaranya perang dagang Amerika Serikat dengan China serta pengetatan keuangan dunia.
Adapun proyeksi Bank Dunia lebih suram, yakni ekonomi global tumbuh 2,9 persen. Proyeksi ini mempertimbangkan antara lain aktivitas perdagangan dan manufaktur internasional yang melemah, ketegangan perdagangan, dan tekanan pasar keuangan di sejumlah negara berkembang.
Risiko pelambatan pertumbuhan ekonomi dunia berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia. Penjelasan sederhananya, pertumbuhan ekonomi yang melambat akan berdampak pada permintaan barang dan jasa yang berkurang. Padahal, dalam dunia yang saling terhubung ini terjadi perdagangan antarnegara.
Bagi Indonesia, risiko pelambatan pertumbuhan ekonomi dunia mesti dihadapi. Salah satu langkah yang bisa dilakukan antara lain tak lagi mengandalkan komoditas sebagai penopang ekspor. Sebaliknya, Indonesia bisa meningkatkan ekspor bernilai tambah. Sebab, harga komoditas rentan terhadap gejolak perekonomian dunia. Jika harga komoditas anjlok, dampak bagi perekonomian negara yang bergantung pada ekspor komoditas besar.
Pemerintah Indonesia mulai gencar menarik investasi yang bernilai tambah bagi perdagangan. Dana asing tidak sekadar masuk ke pasar keuangan dan pasar saham, serta dalam bentuk penanaman modal asing (PMA) pada investasi langsung. Namun, PMA yang masuk ke Indonesia sudah diarahkan untuk berorientasi ekspor. Jangan sampai investor memandang Indonesia sebagai pasar belaka, lalu mengirimkan keuntungan hasil investasi itu ke negara asalnya.
Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi PMA di Indonesia pada 2018 sebesar 29,2 miliar dollar AS. Sekitar 84,5 persen PMA berupa investasi baru, sedangkan 15,5 persen berupa perluasan investasi. Negara dengan realisasi PMA tertinggi di Indonesia 2018 adalah Singapura sebesar 9,193 miliar dollar AS pada 4.946 proyek.
Investasi di sektor otomotif, misalnya, bisa didorong tak hanya menjual produksinya di Indonesia. PMA itu juga mesti mengekspor produknya ke negara lain, baik berupa kendaraan utuh maupun suku cadang. Dengan demikian, Indonesia bisa menjadi basis produksi dan bagian dari rantai suplai produksi global.
Di sisi lain, ekspor bisa memperbaiki neraca perdagangan, yang pada 2018 defisit 8,56 miliar dollar AS. Mesti diingat, kondisi neraca perdagangan 2018 berbalik arah dari 2017 yang surplus 11,842 miliar dollar AS. Neraca perdagangan 2017 surplus antara lain ditopang neraca nonmigas yang surplus 20,414 miliar dollar AS. Surplus neraca nonmigas ini menutup defisit neraca migas 8,571 miliar dollar AS.
Pada 2018, neraca nonmigas anjlok menjadi 3,837 miliar dollar AS. Nilai ini tak dapat menutup defisit neraca migas yang semakin dalam, menjadi 12,403 miliar dollar AS. Surplus mengecil, sedangkan defisit membesar, yang menghasilkan defisit neraca perdagangan. Oleh karena itu, perbaikan neraca perdagangan tahun ini mutlak dilakukan.
Berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik, perekonomian RI pada 2018 tumbuh 5,17 persen secara tahunan. Angka ini lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi 2017 sebesar 5,07 persen.
Di tengah tantangan perekonomian yang cukup berat tahun ini, membalikkan neraca perdagangan dari defisit menjadi surplus bukan upaya mudah. Namun, setiap langkah mesti dilakukan agar tidak menyesal di kemudian hari.