JAKARTA, KOMPAS — Meski lewat beberapa hari dari tanggal perayaannya, momentum Imlek perlu dijaga sebagai sarana untuk merajut kebinekaan dan persatuan. Peran warga Tionghoa diperlukan untuk merajut kembali kebinekaan yang sempat terkoyak akibat konstelasi politik dari 2017 hingga 2019.
Ketua Panitia Perayaan Imlek Nasional 2019 Sudhamek Agoeng Waspodo Soenjoto mengatakan, saat ini kebinekaan masyarakat Indonesia sudah terkoyak akibat beragam kontestasi pemilu, mulai dari Pilkada 2017 hingga Pilpres 2019.
”Oleh sebab itu, momentum Imlek kali ini terasa berbeda karena etnis Indonesia Tionghoa bersama masyarakat harus mampu merajut kembali kebinekaan dan persatuan tersebut,” ujarnya dalam pembukaan Perayaan Imlek Nasional 2019 di Jiexpo Kemayoran, Jakarta, Kamis (7/2/2019).
Perayaan Imlek Nasional pertama kali diadakan tahun ini karena sebelumnya organisasi-organisasi Tionghoa di Indonesia merayakan Imlek secara terpisah. Oleh sebab itu, Presiden Joko Widodo akhirnya menyempatkan diri hadir dalam Perayaan Imlek Nasional.
”Saya sudah sampaikan, saya tidak mau kalau seperti ini (dirayakan secara terpisah), saya tidak akan datang,” ujar Jokowi.
Jokowi mengapresiasi warga Tionghoa yang mampu menghimpun semua organisasi agar bisa merayakan Imlek bersama-sama melalui festival semacam ini. Ia juga mengungkapkan, sebagai bentuk kebinekaan, hadir pula 29 raja dan sultan dari seluruh Tanah Air untuk turut merayakan Imlek.
Kemudian, Jokowi juga mengimbau masyarakat Tionghoa bisa turut berpartisipasi dalam Pemilu 2019. Menurut Jokowi, keamanan masyarakat Tionghoa dalam mengikuti pemilu dijamin oleh negara.
”Saya sampaikan, jangan ada kekhawatiran dan ketakutan karena TNI dan Polri menjamin keamanan kita. Saya juga mendorong agar tidak ada yang namanya golput,” katanya.
Sudhamek mengatakan, ada 540 organisasi Tionghoa di Indonesia dan akhirnya bisa turut merayakan Imlek bersama dalam Perayaan Imlek Nasional. Festival ini bertajuk ”Merajut Kebinekaan, Memperkokoh Persatuan” berlangsung dari 7 hingga 10 Februari 2019.
”Kemudian, festival kali ini juga menampilkan beragam akulturasi kebudayaan seperti penampilan bersama barongsai dengan reog Ponorogo kemudian ada pula lagu-lagu kebangsaan yang dimainkan dengan menggunakan alat musik khas Tionghoa,” katanya.
Rasa bangga
Acung, salah satu anggota dari Perhimpunan Tionghoa Kalbar Indonesia, merasa bangga karena setelah reformasi, masyarakat Tionghoa diperbolehkan mengembangkan kebudayaan etnisnya. Ia bersama teman-temannya merupakan pemain atraksi liong dari Sedau, Singkawang, Kalimantan Barat.
”Dulu sebelum reformasi, kami (etnis Tionghoa) rasanya tidak dihargai oleh pemerintah ataupun masyarakat. Padahal, atraksi liong ini merupakan warisan dari leluhur kami sejak Indonesia belum merdeka,” katanya.
Liong berbentuk naga sepanjang 30 meter dimainkan oleh minimal 36 orang. Setiap pemain memang dikaruniai tulang-tulang yang lentur sehingga lebih mudah dilatih untuk melakukan atraksi.
Akai, anggota Perhimpunan Tionghoa Kalbar Indonesia, merasa bahagia karena penampilan liongnya bisa dipertunjukkan di depan Presiden Jokowi. Menurut dia, hal tersebut merupakan salah satu bentuk apresiasi pemerintah untuk mengakui keberadaan etnis Tionghoa.
”Kami jauh-jauh datang dari Kalbar untuk menampilkan ini di depan Presiden. Kami merasa spesial karena pemerintah mau hadir untuk menonton pertunjukan ini,” ucapnya.
Sudhamek menambahkan, etnis Tionghoa harus mampu mengharumkan nama bangsa dari beragam profesi. Menurut dia, jika etnis Tionghoa mengharumkan nama bangsa, kebinekaan bisa terajut kembali.
”Etnis Tionghoa ada dalam beragam profesi, mulai dari atlet, ekonom, budayawan, hingga politisi. Jika masing-masing dari mereka bisa mengharumkan nama bangsa, hal ini bisa memupuk rasa kebinekaan antarmasyarakat,” katanya.