Penyakit demam berdarah dengue mulai merebak di sejumlah daerah di Kalimantan Selatan. Mulai dari Januari hingga pekan pertama Februari 2019, penyakit tersebut telah menyebabkan lima orang meninggal dunia.
Oleh
Jumarto Yulianus
·3 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS – Demam berdarah dengue mulai merebak di sejumlah daerah di Kalimantan Selatan. Sejak memasuki Januari hingga pekan pertama Februari 2019, penyakit tersebut telah menyebabkan lima orang meninggal.
Kasus kematian akibat penyakit demam berdarah dengue (DBD) terjadi di Kota Banjarbaru (3 kasus), Kabupaten Tapin (1 kasus), dan Tanah Laut (1 kasus). Adapun jumlah kasus DBD di Kalimantan Selatan pada Januari-Februari 2019 sebanyak 691 kasus.
”Dibandingkan tahun lalu, pada bulan yang sama memang terjadi peningkatan kasus. Namun, kasus kematian saat ini masih rendah,” kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalsel Muhammad Muslim, di Banjarmasin, Kamis (7/2/2019).
Sejauh ini, angka kesakitan atau incidence rate (IR) kasus DBD di Kalsel baru 16,52 per 100.000 penduduk. Angka tersebut masih di bawah standar IR nasional, yaitu 49 per 100.000 penduduk. Karena itu, Pemprov Kalsel belum menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) untuk DBD.
Di dua kabupaten/kota, angka kesakitan sebenarnya sudah di atas standar nasional, yakni 55,95 per 100.000 penduduk untuk Banjarbaru dan 50,96 per 100.000 penduduk di Balangan. Di Banjarbaru, ada 143 kasus DBD dengan tiga kasus kematian, sedangkan di Balangan ada 66 kasus tanpa kematian.
”Banjarbaru sudah berencana menetapkan status KLB karena angka kesakitannya tinggi dan laju kematian atau case fatality rate (CFR) juga sudah 2,1 persen,” kata Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Provinsi Kalsel Syahriani Nor.
Direktur RSUD Ulin Banjarmasin Suciati mengatakan, pada Januari-Februari terjadi peningkatan jumlah pasien yang dirawat di RSUD Ulin karena menderita DBD. ”Dari 1 Januari sampai dengan 6 Februari 2019 ada 65 kasus DBD yang kami tangani,” katanya.
Menurut Suciati, jumlah kasus DBD yang ditangani dalam waktu kurang dari dua bulan itu sudah lebih dari separuh jumlah kasus DBD yang ditangani RSUD Ulin sepanjang tahun 2018 dengan jumlah 104 kasus.
”Meski RSUD Ulin merupakan rumah sakit rujukan akhir, sebagian pasien langsung datang ke sini. Karena sudah masuk IGD (Instalasi Gawat Darurat) dan kondisinya lemah, semua pasien langsung kami tangani. Sejauh ini, semua bisa ditangani dengan baik dan tidak ada yang meninggal,” tuturnya.
Sebagian besar pasien DBD yang masuk ke RSUD Ulin adalah anak-anak. Mereka rata-rata menjalani rawat inap selama satu minggu. ”Meski ada peningkatan jumlah pasien, ruang rawat inap di RSUD Ulin masih cukup untuk menampung pasien DBD,” ujarnya.
Qomariah (35), warga Banjarmasin, memilih langsung membawa anaknya, M Lufvi Baihaki (9), ke RSUD Ulin setelah menderita demam panas selama empat hari. ”Sebelumnya hanya berobat ke bidan. Karena tidak ada perubahan, akhirnya langsung dibawa ke IGD RSUD Ulin. Waktu itu, kondisi anak saya sudah lemah. Setelah empat hari dirawat, kondisinya pun membaik,” tuturnya.
Menurut Syahriani Nor, tingginya kasus DBD di Kalsel tahun ini merupakan siklus tiga tahunan. Di Kalsel, angka kasusnya tinggi pada 2016, kemudian turun pada 2017 dan 2018. ”Tahun 2019 ini, angka kasusnya tinggi lagi. Apalagi, sampai saat ini curah hujan juga masih tinggi,” katanya.
Pada 2016, kasus DBD di Kalsel mencapai 4.099 kasus dengan 29 kematian. Angka kasusnya turun drastis pada 2017 menjadi 573 kasus dengan dua kematian, kemudian pada 2018 tercatat 706 kasus dengan 11 kematian.