Pemerintah Akan Bahas Detail Larangan Penggunaan “GPS”
Oleh
Khaerudin
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Larangan penggunaan global positioning system atau GPS bagi para pengendara dinilai masih perlu ditinjau. Pembahasan secara detail dibutuhkan agar aturan pelaksanaan larangan itu bisa ditetapkan.
Larangan ini menyita perhatian publik ketika permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan ditolak oleh Mahkaman Konstitusi (MK). Permohonan uji materi diajukan oleh komunitas Toyota Soluna dan pengemudi transportasi.
Dalam undang-undang itu, para pengemudi dilarang menggunakan ponsel saat mengemudi, termasuk menggunakan GPS. Para pemohon merasa keberatan dengan larangan itu. Pasalnya, pekerjaan mereka bergantung pada pemanfaatan GPS.
“Sebagai warga negara, saya menghormati apa yang sudah diputuskan MK. Tapi, saya melihat esensinya (dari peraturan itu). Keselamatan adalah bagian yang penting dari bertransportasi,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi di Jakarta, Rabu (6/2/2019) malam.
Menurut Budi, keputusan MK tersebut adalah bentuk komitmen pada keselamatan berkendara. Namun, larangan menggunakan GPS perlu dibahas lebih detail, antara lain tentang definisi penggunaan GPS yang tidak mengganggu konsentrasi pengemudi.
“Kami akan bahas larangan ini dengan melibatkan para ahli dan pihak universitas. Pembahasannya akan sedikit lama, mungkin sekitar 2-3 bulan,” kata Budi.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Driver Online Wiwit Sudarsono mengatakan, UU Nomor 22 Tahun 2009 belum menjelaskan bentuk penggunaan GPS yang dilarang secara rinci. Padahal, ada sejumlah mobil yang memiliki fitur GPS pada dasbor. GPS pun dinilai berguna bagi pengemudi untuk mencapai tujuan.
“Yang salah itu ketika pengemudi, terutama motor terus menerus melihat GPS sambil mengendarai kendaraannya. Keseimbangan bisa terganggu. Kami jelas mengedukasi anggota asosiasi untuk tidak melalukan ini. Namun bukan berarti penggunaan GPS harus dilarang sepenuhnya bagi pengendara,” ucap Wiwit (Kompas, 6/2/2019).
Melalui peraturan ini, para pengendara yang melanggar akan dikenai denda. Menurut Pasal 282 Undang-Undang Nomor 22/2009, setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor secara tidak wajar dan tidak berkonsentrasi akan dikenai denda paling banyak Rp 750.000. Selain itu, pelanggar juga akan dikenakan pidana kurungan selama paling lama tiga bulan.
Saat dihubungi terpisah, Kepala Korps Lalu Lintas Polri (Korlantas) Inspektur Jenderal Polisi Refdi Andri menjelaskan, mengemudi dalam kondisi wajar berarti mematuhi semua peraturan lalu lintas, termasuk aturan kecepatan dan rambu-rambu lalu lintas.
Sementara itu, mengemudi dengan konsentrasi penuh berarti pengendara tidak boleh terganggu, baik pendengaran maupun penglihatannya. Refdi mengatakan, peraturan ini bertujuan untuk menjamin keselamatan pengendara.
Menurut Refdi, penggunaan GPS saat berkendara bisa diterapkan asal tepat guna. GPS dapat disetel sesuai dengan kebutuhan sebelum berkendara, misalnya dengan fitur suara untuk mengarahkan jalan.
“Boleh jika GPS disesuaikan dari awal. Untuk beberapa orang, mendengar radio atau musik juga boleh karena bisa menghilangkan kantuk. Tapi, pengendara tetap tidak boleh terganggu konsentrasinya. Kalau pakai GPS di ponsel, pengendara bisa tidak fokus jika ponselnya diambil, lalu ditaruh, lalu dilihat lagi (GPS-nya),” kata Refdi. (SEKAR GANDHAWANGI)