JAKARTA, KOMPAS — Rapat pleno Komisi III DPR soal pengambilan keputusan seleksi hakim Mahkamah Konstitusi yang dijadwalkan pada 7 Februari 2019, atau Kamis malam ini, ditunda hingga sebulan kemudian pada 12 Maret 2019. Berlangsungnya masa reses serta konsolidasi internal di tiap-tiap fraksi partai politik disebut menjadi alasan penundaan ini.
Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Trimedya Panjaitan mengatakan, anggota DPR membutuhkan waktu untuk melakukan konsolidasi internal di tiap-tiap fraksi terkait dengan penentuan dua hakim Mahkamah Konstitusi.
”Ini, kan, lembaga politik. Para anggota (Komisi III DPR) butuh untuk bertanya kepada masing-masing pimpinan (partainya) harus mengambil keputusan seperti apa. Pada intinya, tidak siap hari ini dan tidak siap pekan depan,” kata Trimedya, ditemui seusai rapat pleno Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (7/2/2019) malam.
Keputusan penundaan itu diambil dalam rapat pleno yang digelar seusai berakhirnya uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) kandidat hakim Mahkamah Konstitusi pada Kamis malam di ruang rapat Komisi III DPR. Sembilan fraksi yang hadir dalam rapat yang berlangsung singkat itu menyetujui bahwa rapat ditunda hingga masa reses berakhir.
Awalnya, penentuan hakim MK dijadwalkan untuk dilaksanakan pada Kamis dengan pertimbangan waktu masa sidang yang tersedia sudah mendekati masa reses. Masa reses dalam Masa Persidangan III Tahun 2018-2019 DPR dijadwalkan berlangsung pada 14 Februari-3 Maret 2019. Trimedya mengatakan, perubahan jadwal itu masih memungkinkan karena masa jabatan dua hakim MK itu akan habis pada 21 Maret 2019.
Dua hakim MK yang habis masa jabatannya ialah Aswanto dan Wahiduddin Adams. Saat ini keduanya mengajukan diri kembali sebagai calon hakim MK.
Sebelum pengambilan keputusan pada 12 Maret 2019, Trimedya mengatakan, pihaknya akan mengundang para panel ahli datang sehari sebelumnya. Para anggota panel ahli diminta memberikan pendapat secara individu, tidak kolektif kolegial seperti kesepakatan sebelumnya.
”Dengan demikian, setiap panel ahli dapat memberikan pendapat masing-masing,” kata Trimedya.
Ini, kan, lembaga politik. Para anggota Komisi III DPR butuh untuk bertanya kepada masing-masing pimpinan partainya harus mengambil keputusan seperti apa.
Panel ahli ini terdiri dari mantan Hakim Konstitusi Maria Farida, mantan Wakil Ketua MK Harjono, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Eddy OS Hiariej, dan mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan.
Dengan jeda lebih dari satu bulan ini, ada kekhawatiran munculnya kemungkinan bertemunya para calon dengan anggota DPR ataupun panel ahli. Karena itu, Trimedya mengatakan, pihaknya hanya dapat mengimbau kepada tim ahli dan anggota DPR untuk tidak ”bersentuhan” dengan para calon.
”Kalau itu jelas, kami juga berharap tim ahli juga tidak bertemu dengan mereka. Karena kontrak politik kami dengan tim ahli ini juga tidak bersentuhan dengan calon. Sama seperti kami tidak bersentuhan dengan calon, mereka juga seharusnya tidak bersentuhan dengan calon. Kami ingin menghasilkan yang bagus untuk MK dan ini adalah karya kami terakhir sebelum berakhirnya masa jabatan periode ini,” kata Trimedya.
Masukan penting
Anggota Komisi III yang juga Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, masukan panel ahli merupakan bahan pertimbangan bagi Komisi III yang sangat penting. Akan tetapi, keputusan tetap berada di tangan Komisi III.
”Tetapi, kami akan diskusikan dengan tim ahli sampai benar-benar mendapatkan masukan yang paling bagus,” kata Dasco.
Meski masukan dari panel ahli disebut memiliki nilai signifikan, pilihan panel ahli tidak akan diikuti anggota Komisi III. Anggota panel ahli yang juga mantan Hakim Konstitusi, Maruarar Siahaan, membenarkan anggota DPR tidak harus mengikuti pilihan panel ahli.
”Wah, ya, enggaklah. Undang-undang mengatakan merekalah yang menunjuk. Mereka meminta kami untuk memberikan masukan, tetapi tidak harus diikuti,” kata Maruarar.
Tugas berat
Maruarar mengatakan, sengketa Pemilu 2019 menjadi tugas berat yang sudah menunggu kedua hakim terpilih. Terlebih lagi sistem pemilu yang diselenggarakan secara serentak menambah komplikasi permasalahan.
Karena itu, lanjut Maruarar, setiap hakim yang terpilih harus dapat segera mempersiapkan diri dengan cepat untuk dapat mengikuti ritme MK dalam menyelesaikan berbagai sengketa.
”Kalau dari pengetahuan hukum secara umum, yang terpilih nanti pasti sudah memadai. Tetapi, secara teknis, dalam acara itu yang harus belajar. Anda bisa bayangkan rumitnya dari sudut waktu, sudut komplikasi masalahnya. (Hakim terpilih) harus bisa lebih cepat menyesuaikan agar tidak keteter,” kata Maruarar.