JAKARTA, KOMPAS – Draft Rancangan Undang-Undang Permusikan mendapat penolakan keras dari penyelenggara acara musik, atau promotor, baik yang berskala besar maupun independen. Beberapa pasal di dalamnya membatasi ruang gerak mereka serta merugikan para penikmat musik yang merindukan suguhan-suguhan musik berkualitas.
“Konsekuensinya jika draft RUU itu nanti disahkan, (gerakan) kami akan mati, atau kami terpaksa menaikkan harga tiket,” kata Argia Adhy, salah satu promotor independen di Jakarta, Kamis (7/2/2019). Selama lima tahun terakhir, Argia kerap mengorganisir pertunjukan musik secara swadaya, yang juga mengundang artis mancanegara.
Kinerja kelompok bentukan Argia itu berlandaskan pada kesukaan akan artis yang mereka undang. Kapasitas ruang pertunjukannya tidak pernah besar. Fasilitas panggung pun tidak tergolong mewah. Mereka mendanai sendiri produksi acaranya. Alhasil, tak jarang mereka merugi secara finansial.
Namun demikian, Argia merasa pola kerja seperti itu memberi keuntungan lain, yaitu edukasi. “Acara independen seperti ini adalah cetak biru untuk acara yang lebih besar. Para awak yang bekerja di acara independen, banyak yang akhirnya terlihat merancang dan mengerjakan acara besar. Jadi gerakan ini semacam laboratorium di industri musik,” kata dia.
Pasal 18 ayat 1 dalam naskah akademik RUU Permusikan dianggap menghambat pergerakan promotor independen. Ayat dimaksud itu berbunyi “pertunjukan musik melibatkan promotor musik dan/atau penyelenggara acara musik yang memiliki lisensi dan izin usaha pertunjukan musik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.”
“Pasal itu tidak memihak pada promotor kecil-kecilan seperti kami. Para pembuat regulasi itu semestinya memahami kalau pergerakan acara musik independen itu punya nilai berbeda dengan bentukan promotor besar. Di RUU, itu dipaksa disejajarkan.” tambah Argia.
Para pembuat regulasi itu semestinya memahami kalau pergerakan acara musik independen itu punya nilai berbeda dengan bentukan promotor besar.
Karakter pemusik yang dipanggungkan Argia memiliki penggemar terbatas. Belakangan, beberapa promotor bersponsor yang memiliki modal lebih kuat juga turut mengundang musisi semacam itu. Kondisi sedemikian saja sudah cukup menyulitkan bagi dia.
“Apalagi kalau RUU itu nanti disahkan, kami makin tersudut,” kata Argia.
Pertanyakan lisensi
Di lain sisi, promotor yang lebih mapan juga berkeberatan dengan pasal 18 dan pasal 19. Hal itu diungkapkan oleh Anas Syahrul Alimi, CEO Rajawali Indonesia Communications. Rajawali berulang kali mendatangkan artis internasional kelas kakap seperti Mariah Carey, Megadeth, David Foster, Europe, dan Dream Theater.
Anas mempertanyakan “penyelenggara acara musik yang memiliki lisensi” di Pasal 18 ayat 1. “Itu ngawur. Lisensinya didapat dari mana? Selama ini tidak ada satu pun lembaga yang mengatur pemberian lisensi bagi promotor di Indonesia. Siapa yang mengeluarkan?” gugat Anas.
Selama ini tidak ada satu pun lembaga yang mengatur pemberian lisensi bagi promotor di Indonesia.
Dia juga menyoroti pasal 19 yang mewajibkan promotor mengikutsertakan pelaku musik Indonesia dalam pertunjukan yang memanggungkan pemusik dari luar negeri. Berdasarkan pengalamannya, tidak semua artis mau disandingkan dengan musisi lokal karena mereka punya standar pertunjukan sendiri yang semestinya dihargai.
Dalam beberapa pertunjukan sebelumnya, Rajawali memang kerap menyandingkan artis mancanegara dengan talenta lokal. Pada tahun 2018, misalnya, David Foster disandingkan dengan penyanyi dalam negeri seperti Dira Sugandhi dan Marcell Siahaan. Itu adalah inisiatif Anas, yang kebetulan diterima oleh David Foster.
“Tapi itu tidak bisa diwajibkan. Andaikata saya mau undang Adele ke Indonesia, tapi dia tidak mau berkolabrasi dengan pemusik lokal, lantas konsernya batal. Siapa yang rugi? Ya penikmat musik. Pencitraan Indonesia di ranah global juga akan tercoreng,” ujar Anas.
Oleh sebab itu, Anas bersikap tegas menolak RUU Permusikan ini. Regulasi perihal musik semestinya hanya mengatur hal-hal yang terkait ekonomi, seperti urusan penghitungan royalti, atau standar pengupahan pekerja musik. Penyusunan aturannya pun sudah semestinya melibatkan seluruh praktisi musik.
Regulasi perihal musik semestinya hanya mengatur hal-hal yang terkait ekonomi, seperti urusan penghitungan royalti, atau standar pengupahan pekerja musik.
“Regulasi bagi promotor seharusnya ada. Aturan itu untuk memastikan, misalnya, promotor membayar royalti atas lagu-lagu yang ditampilkan di panggung,” kata Anas.
Profesor Tjut Nyak Deviana Daudsjah dari Institut Musik Daya Indonesia mengatakan, urgensi regulasi tentang musik harusnya bertujuan meningkatkan kesejahteraan orang-orang yang terlibat di dalamnya.
“Yang bisa diregulasikan dalam ranah musik adalah standar honor pekerja di berbagai bidang musik, asuransinya, juga soal hak cipta. Standarnya tentukan dulu, dan bekerja sama dengan kementerian tenaga kerja, kementerian keuangan. Jadi sangat kompleks. Intinya adalah kesejahteraan praktisi musik di berbagai bidang,” kata Deviana.
Kompleksitas ranah industri musik itu membutuhkan kajian lengkap dan mendalam sebelum dibuatkan regulasinya. Deviana menyarankan, penyusunan regulasi kancah musik harus melibatkan semua penggerak musik dari berbagai bidang yang benar-benar ahli.
Setelah mencermati naskah akademik RUU Permusikan, Deviana menilai 95 persen naskah itu bermasalah. Kekeliruan itu diduga karena penyusunannya tidak melibatkan pakar di berbagai bidang musik.