Konten hoaks di media sosial jumlahnya mencapai 18.000 konten perhari. Peningkatan diyakini akan terus terjadi mendekati pemilu, 17 April 2019.
Oleh
A Ponco Anggoro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kampanye hitam menjatuhkan calon presiden/calon wakil presiden di media sosial menjelang Pemilu Presiden 2019 meningkat empat kali lipat dibandingkan dengan Pemilu Presiden 2014. Konten hoaks saja, misalnya, jumlahnya saat ini bisa mencapai 18.000 konten per hari. Peningkatan diyakini akan terus terjadi mendekati pemilu, 17 April 2019.
”Penyebaran kampanye hitam terkait dengan Pilpres 2019 meningkat hingga tiga sampai empat kali lipat dibandingkan dengan Pilpres 2014,” ujar Direktur Politica Wave Jose Rizal saat memaparkan hasil penelitiannya dalam acara bertajuk ”Pilihan Netizen Menjelang Pilpres” di Jakarta, Kamis (7/2/2019).
Data itu dihimpun dari Twitter dan Facebook lewat analisis data raksasa. Kampanye hitam dimaksud merupakan penyebaran informasi yang tidak berdasarkan fakta, seperti hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah.
Politica Wave adalah lembaga yang memiliki keahlian menganalisis media sosial.
Sebagai gambaran, menurut Jose, berdasarkan statistik periode 28 Januari hingga 4 Februari 2019, rata-rata ada 18.000 konten hoaks per hari. Jumlah itu diperkirakan masih akan meningkat menjelang pemilu, 17 April 2019. Peningkatan bisa sampai empat kali lipat.
Sama seperti pada 2014, Jose Rizal menduga hoaks diproduksi menjelang Pilpres 2019 untuk menjatuhkan elektabilitas calon.
Tahun 2014, menurut Jose, kampanye hitam paling banyak menyerang calon presiden Joko Widodo. Hal serupa terulang pada 2019. Seperti diketahui, di Pemilu Presiden 2019, Jokowi maju kembali sebagai calon presiden.
”Hampir semua kampanye hitam menyerang pemerintahan, terutama Presiden Joko Widodo,” kata Jose.
Hal itu tidak hanya bisa berimbas pada elektabilitas Jokowi bersama pasangannya, Ma’ruf Amin, pada 2019, tetapi juga membuat jajaran pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla harus sibuk menangkal kabar-kabar bohong yang beredar.
Tak hanya itu, dia mengingatkan, jika terus dimainkan untuk kepentingan politik, hoaks dapat memecah belah masyarakat. Bahkan, bukan tidak mungkin hoaks bisa berujung pada konflik horizontal. ”Isu hoaks sangat berbahaya karena mampu memecah belah bangsa,” katanya.
Pengajar Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Agus Indiyanto, mengatakan, dalam konteks politik, masifnya kampanye hitam berpotensi membelah masyarakat ke dua kekuatan kognitif yang menghancurkan.
Menurut dia, hal itu dipicu karena situasi politik Indonesia lebih mengedepankan politik rasa dibandingkan dengan politik rasionalitas.
Politik rasa, kata Agus, cenderung memainkan isu-isu primordialisme supaya lebih menarik perhatian para calon pemilih.
”Ketika memainkan isu-isu primordialisme, tidak ada rasionalitas di situ. Hanya ada kepercayaan yang berujung pada dua pilihan, yakni suka atau tidak suka,” kata Agus. Apalagi, lanjutnya, isu itu disebarkan di dunia maya yang tidak memiliki sekat antara ruang dan waktu.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amin Mudzakir, menilai, dibutuhkan regulasi yang jelas dan tegas untuk mengatur informasi di dunia digital. Keberadaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, menurut dia, belum mampu mencegah penyebaran berita bohong karena regulasi itu bersifat aduan (Kompas, 18/1/2019). (DIONISIO DAMARA)