Sumbar Mulai Kurangi Risiko Bencana Tsunami
PADANG, KOMPAS – Zona patahan raksasa di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat yang menyimpan energi gempa hingga magnitudo 8,8 dan berpotensi memicu tsunami besar mendorong pemerintah dan masyarakat di Sumbar menyiapkan diri untuk mengurangi risiko bencana.
“Kalau persiapan apalagi menghadapi Mentawai Megathrust, secara sikap dan perilaku, sudah mulai di masyarakat sejak tahun 2011," kata kata Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno di Padang, Kamis (7/2/2019). Hal itu karena informasi terkait Mentawai Megathrust telah diterima masyarakat sejak 2011.
Berbagai langkah telah dilakukan seperti sosialisasi di masjid oleh para ustaz, sekolah-sekolah di semua tingkat, termasuk juga kantor, hotel, dan tempat-tempat publik yang memerlukan langkah evakuasi. "Sekarang, masyarakat setiap kali merasakan gempa, sudah langsung keluar ruangan untuk evakuasi diri," kata Irwan.
Menurut Irwan, dalam kondisi mulai meningkatnya aktivitas gempa di sekitar Mentawai seperti saat ini, yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kapasitas masyarakat. “Justru yang belum tuntas adalah infrastruktur khusus, misalnya jembatan khusus yang dilengkapi dengan tempat evakuasi sementara, atau masjid-masjid di pinggir laut yang memiliki ruang terbuka ke atas. Itu memang tidak bisa serta merta karena masalah anggaran,” kata Irwan.
Justru yang belum tuntas adalah infrastruktur khusus, misalnya jembatan khusus yang dilengkapi dengan tempat evakuasi sementara, atau masjid-masjid di pinggir laut yang memiliki ruang terbuka ke atas.
Shelter yang dibuat khusus, menurut Irwan juga belum mencukupi. Hanya saja, kendala itu terbantu oleh shelter yang berada di gedung-gedung milik pemerintah, swasta, termasuk hotel, serta bangunan pribadi milik masyarakat. “Sekarang, setiap ada yang membangun gedung baru di daerah yang kemungkinan terdampak (zona merah), sesuatu aturan sudah harus memakai shelter,” kata Irwan.
Baca juga : Masyarakat Mentawai dan Padang Disiapkan Hadapi Tsunami
Di segmen Mentawai, tercatat pernah terjadi gempa berkekuatan magnitudo 7,9 pada 2007 dan magnitudo 7,8 pada 2010. Namun, saat itu, menurut ahli gempa bumi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Danny Hilman Natawidjaja, energi yang lepas baru sebagian kecil.
Sekitar dua pertiga segmen ini belum runtuh dan potensi gempanya bisa mencapai M 8,8 jika dihitung dari energi yang tersimpan selama 222 tahun sejak gempa besar terakhir pada 1797 dikurangi dengan energi yang dilepaskan saat gempa pada 2007 dan 2010 (Kompas, 7/2/2019).
Energi yang masih tersimpan itu bahkan membuat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), menempatkan Mentawai sebagai fokus prioritas pertama dari delapan zona bahaya (gempa) di Indonesia. Apalagi selama Februari, tercatat sudah ada 115 kali gempa di sekitar Mentawai.
Irwan mengatakan, langkah yang dilakukan Pemprov Sumbar sejalan dengan enam arahan Presiden Joko Widodo kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) terkait kebencanaan dan rancangan pembangunan daerah. Instruksi itu disampaikan Presiden dalam Rapat Koordinasi Nasional BNPB di Surabaya, Sabtu (2/2) lalu.
Arahan itu juga disampaikan lagi pada Rapat Koordinasi Mitigasi dan Penanganan Gempa dan Tsunami di Provinsi Sumbar di Padang, Rabu (6/2).
Enam arahan itu diantaranya setiap pembangunan harus dilandaskan pada aspek-aspek pengurangan risiko bencana. Pemerintah daerah harus tegas menerapkan tata ruang berbasis risiko bencana.
Kedua, pelibatan akademisi dan pakar bencana untuk mengkaji, menganalisis bencana agar daerah memiliki kemampuan memprediksi ancaman, mengantisipasi, dan mengurangi dampak bencana, hingga pendidikan kebencanaan dan pemasangan jalur evakuasi. (Kompas, 3/2).
Baca juga : Enam Arahan Presiden untuk Mengurangi Risiko Bencana
Menurut Irwan, arahan tersebut sudah disampaikan ke 19 kepala daerah kabupaten kota di Sumbar. Selanjutnya, masing-masing kepala daerah diminta untuk menindaklanjutinya. “Rencananya, tanggal 15 Februari, kami akan bertemu dengan seluruh kepala daerah di Sumbar untuk membahas kembali arahan tersebut,” kata Irwan.
Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana Sumbar Khalid Saifullah menyebutkan, hal-hal mendesak yang perlu dilaksanakan di Sumbar saat ini adalah sosialisasi kesiapsiagaan individu, keluarga, dan komunitas baik di sekolah, kantor, maupun tempat publik dalam menghadapi gempa bumi dan tsunami.
“Perlu juga menyiapkan rencana evakuasi keluarga dan komunitas, simulasi mandiri dari tingkat keluarga dan komunitas, serta mengecek, memperbaiki, dan melengkapi rambu-rambu evakuasi. Selain itu, perlu juga mengecek kualitas bangunan yang potensial untuk evakuasi, serta sosialisasi di daerah penyangga yang menjadi tempat evakuasi akhir,” kata Khalid.
Di level pemerintah melalui BPBD, juga perlu melakukan rapat koordinasi untuk memastikan kesiapan sumber daya di masing-masing pihak dengan merujuk kepada rencana kontijensi gempa dan tsunami. “Sejauh ini, upaya-upaya itu sudah mulai dilakukan tetapi belum optimal,” kata Khalid.
Kesiapan masyarakat
Data BPBD Sumbar, saat ini ada sekitar satu juta warga yang tinggal di kawasan pesisir Sumbar. Mereka tersebar di tujuh kabupaten/kota di wilayah pesisir yakni Pesisir Selatan, Padang, Pariaman, Padang Pariaman, Agam, Pasaman Barat, dan Kepulauan Mentawai.
Banyak warga yang tinggal di kawasan zona merah tidak tahu tentang Mentawai Megathrust. Meski demikian, mereka mengaku telah mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan terburuk.
“Saya tidak tahu tentang Mentawai Megathrust. Tetapi, saya tahu yang harus dilakukan kalau ada gempa besar dan durasinya panjang, lari menjauhi pantai atau mencari tempat tinggi atau shelter,” kata Aida Nursanti (50), warga Tabing, Padang Utara yang sehari-hari berjualan kelapa muda di kawasan Pantai Padang.
Aida yang juga merasakan dahsyatnya gempa Sumbar pada 2009, mengaku tetap waspada. Apalagi lokasi tempatnya berjualan setiap hari berada tepat dipinggir pantai. “Saya sudah mempelajari jalur evakuasi ke zona aman. Selain ini, saya dan keluarga sepakat untuk melakukan hal yang sama ketika terjadi gempa besar. Tidak ada yang saling mencari, melainkan lari dan menyelamatkan diri dulu,” kata Aida.
Pascatsunami di Banten dan Lampung, dia juga tidak lagi berjualan hingga jam 22.00. “Sekarang, jam 18.00 saya sudah pulang. Siang hari saja, saya sulit melihat pergerakan air laut, apalagi malam. Selain itu, kalau terjadi apa-apa dan saya dekat dengan keluarga, bisa evakuasi bersama,” kata Aida.
Aida sadar, tidak ada yang bisa memprediksi secara tepat kapan terjadinya gempa dan tsunami. Oleh karena itu, mempersiapkan diri baginya sangat penting.
“Saya berdoa tidak terjadi bencana. Tetapi, kesiapsiagaan perlu. Di rumah, semua berkas-berkas penting seperti kartu tanda penduduk, kartu keluarga, ijazah anak-anak, dan lainnya disatukan dalam satu tas. Termasuk di dalamnya beberapa helai baju dan selimut. Jadi kalau ada gempa, tinggal ambil itu kemudian lari,” kata Aida.
Di rumah, semua berkas-berkas penting seperti kartu tanda penduduk, kartu keluarga, ijazah anak-anak, dan lainnya disatukan dalam satu tas. Termasuk di dalamnya beberapa helai baju dan selimut. Jadi kalau ada gempa, tinggal ambil itu kemudian lari.
Sonya (46) yang tinggal di kawasan Pondok, Padang Selatan mengaku sudah lama tahu tentang Mentawai Megathrust. “Saya juga tahu tinggal di zona merah. Teman-teman saya banyak yang menganjurkan untuk pindah. Tetapi mau bagaimana lagi, sumber mata pencaharian saya di sana,” kata Sonya.
Meski demikian dia dan keluarganya selalu siaga. “Anak-anak selalu saya ingatkan untuk tidak panik jika terjadi gempa. Berhubung rumah saya lantai dua, saya sampaikan ke mereka jika ada peringatan tsunami, tidak lari ke bawah, melainkan ke atas. Saya khawatir, kalau lari ke bawah, justru makin berbahaya,” kata Sonya.
Namun demikian Aida berharap, pemerintah juga benar-benar mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. “Jangan sampai, pascakejadian, warga telantar. Apalagi kelaparan karena tidak ada makanan,” kata Aida.