Zona Nyaman Karyawan Jadi Penghambat Terbesar Transformasi Digital Perusahaan
Oleh
M Fajar Marta
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Resistensi sumber daya manusia untuk berubah menjadi penghalang terbesar bagi perusahaan untuk menuju transformasi digital. Padahal, penyesuaian diri karyawan dengan perkembangan teknologi seperti komputasi awan dan kecerdasan buatan diperlukan untuk membantu perusahaan bertahan dalam revolusi industri 4.0.
Survei perusahaan layanan penyimpanan dan manajemen data asal Amerika Serikat, NetApp, bersama International Data Corporation (IDC) pada 2018 menjelaskan hal tersebut. Konsultan Teknis NetApp Indonesia Ahmad Ubaidillah, Kamis (7/2/2019), mengatakan, survei tersebut melibatkan 800 pembuat kebijakan di perusahaan dari 15 industri di dunia. Mereka diminta menjelaskan strategi mereka dalam memanfaatkan data dan teknologi informasi (TI) untuk mendisrupsi kompetitor, dengan kata lain, bertransformasi secara digital.
Perusahaan disebut Data Resisters jika tidak memanfaatkan data, Data Survivors jika baru memanfaatkan data pada level proyek, serta Data Responders jika mulai membentuk tim untuk memaksimalkan data di perusahaan. Adapun Data Synergizers adalah perusahaan yang telah mengintegrasikan TI dengan bisnis secara berkelanjutan untuk melayani pelanggan, sedangkan Data Thrivers adalah pengguna data untuk mendisrupsi rival bisnis.
“Hasilnya, dari lima tingkatan itu, yang paling banyak adalah Data Resisters (18 persen) dan Data Survivors (34 persen). Padahal, perusahaan yang sudah matang dengan platform digitalnya bisa meningkatkan keuntungan serta pelanggan baru hingga tiga kali lipat dibanding yang masih konvensional. Efisiensi operasional juga bisa lebih efisien hingga 6 kali lipat,” kata Ahmad.
Adapun Data Responders berjumlah 22 persen, Data Synergizers 15 persen, dan Data Thrivers 11 persen.
Terdapat tiga aspek dalam mendorong perusahaan menuju transformasi digital, yaitu sumber daya manusia (SDM), proses adopsi data dalam praktik bisnis, serta pengembangan TI. Menurut Ahmad, faktor yang paling sulit diajak bertransformasi adalah SDM dan proses. Sebab, para karyawan cenderung sudah nyaman dengan pembagian tugas konvensional sebelumnya.
“Transformasi digital mengharuskan perusahaan mengubah penggunaan sistem TI dan proses bisnisnya demi menciptakan layanan baru bagi pelanggan. Berhasil atau tidaknya, tergantung pada reluctance (keengganan) masing-masing karyawan di perusahaan tersebut,” kata dia.
Ahmad menambahkan, skala perusahaan juga akan sangat menentukan. Bagi perusahaan baru yang jumlah karyawannya masih sedikit, lebih mudah untuk mendorong transformasi digital. Hal ini berbeda dengan perusahaan besar dengan jumlah karyawan yang besar juga. Aspek SDM akan lebih menantang karena karyawan cenderung nyaman dengan pekerjaan sebelumnya yang cenderung konvensional.
Country Manager NetApp Indonesia Ana Sopia mengatakan, perusahaan memang perlu melalui berbagai proses untuk menjadi Data Thrivers. Mengubah pola pikir para karyawan jauh lebih susah daripada menyediakan sistem TI. Bahkan, keahlian-keahlian baru mulai dibutuhkan perusahaan, seperti analis data dan ilmuwan data (data scientist), chief data officer, hingga arsitek komputasi awan.
Proses kerja perusahaan pun diperkirakan akan terus berubah dan membutuhkan keahlian khusus. Pada 2019, NetApp dan IDC memperkirakan, perusahaan di Indonesia dan dunia akan semakin intensif menggunakan penyimpanan awan (cloud storage) untuk mengembangkan kecerdasan buatan (AI). Penggunaan Internet of Things (IoT) dan penyimpanan awan hibrid (hybrid multi-cloud) juga akan membantu perusahaan mengembangkan aksesibilitas data.
Hybrid multi-cloud yang disediakan beberapa perusahaan seperti NetApp, Dell EMC, Hitachi, dan Hewlett-Packard mengintegrasikan penyimpanan awan dengan perangkat keras server dan storage. Data pun dapat diakses dengan mudah, tidak hanya dari pusat data perusahaan.
“Perusahaan sudah tidak perlu lagi mengandalkan hardware (perangkat keras) saja. Tinggal menyewa hybrid multi-cloud sehingga perusahaan bisa berinovasi lebih cepat mendahului kompetitornya. Konsumen pun diuntungkan bisa mengakses data dengan lebih cepat karena data tersedia tidak hanya di pusat data perusahaan, tetapi juga di cloud,” kata Ana.
Saat ini, perusahaan di Indonesia yang telah menggunakan hybrid multi-cloud, termasuk dari NetApp, telah mencapai ratusan. Menurut Ana, perusahaan-perusahaan itu bergerak di berbagai industri berbeda, mulai dari energi, perminyakan, pemerintahan, perbankan, hingga media massa.
Investasi perusahaan pun terbilang besar untuk mendorong transformasi digital. Sebab, selain aspek TI, investasi untuk transformasi harus mencakup aspek SDM dan proses kerja perusahaan.
Tidak mendesak
Di lain pihak, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana mengatakan, transformasi digital bukanlah kewajiban mendesak bagi semua korporasi di Indonesia. Dalam konteks revolusi industri 4.0, perusahaan di Indonesia dibagi Danang menjadi dua kelompok, yaitu yang perlu beradaptasi segera dan yang dapat beradaptasi belakangan.
“Di dalam negeri, industri otomotif, elektornik, dan digital kita sudah menjadi early adapter. Di Cikarang (Bekasi, Jawa Barat), 90 persen industri otomotif kita sudah pakai robotika dan IoT. Tetapi, desakan-desakan peningkatan SDM karena industri 4.0 ini tidak relevan di industri yang padat karya sebagai late adapter,” kata Danang.
Ia mencontohkan, industri tekstil, rokok tradisional, perkebunan, pertanian, perhotelan, dan restoran belum perlu mengarahkan SDM-nya untuk memiliki keahlian-keahlian digital. Justru, industri padat karya dapat menjadi solusi bagi kepentingan nasional yang lebih besar, yaitu menurunkan tingkat pengangguran.
Menurut Data Badan Pusat Statistik (BPS), per Agustus 2018 jumlah angkatan kerja mencapai 131,01 juta orang, sementara yang bekerja sebanyak 124,01 orang. Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pun mencapai 5,34 persen. Lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) mendominasi angkatan kerja yang menganggur.
Kendati begitu, Danang tidak menampik bahwa transformasi digital harus dilakukan di masa mendatang. Untuk itu, ia mendorong pemerintah untuk memberikan insentif bagi industri late adapter agar dapat menyerap lebih banyak tenaga kerja. Secara bersamaan, lulusan tenaga kerja berpendidikan tinggi juga perlu ditambah untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan industri 4.0.